Anomali

Pagi ini aku membuka buku yang tadi malam kubeli dari toko. Kubedah pembungkus plastiknya dan lalu kucoba buka secara asal pada bagian halamannya, tanpa disangka aku tiba pada halaman berjudul

ANOMALI: PR BANGSA!

Menarik, ketika membuka teks hari pada hari kemerdekaan dan sudah hadir sebuah anomali. Namun aku jauh lebih terhenyak lagi ketika merunut untaian kalimat dan kata yang berhasil menghentikanku untuk mampir sejenak,

…Anomali di ranah rasa: kegagalan relasi cinta atau interaksi rasa merasai (Sutrisno, 2013, hal.74).

Hmm.. aku hanya sanggup menghela napas panjang. Kata anomali bukan terma asing untukku, bahkan justru kata itu menjadi pekerjaan panjang dalam ranah positivistik, yang baru berhasil kupecahkan secara sebagian. Namun ternyata anomali ini tidak hanya merepotkan di pasar modal, namun juga merepotkan pada level negara?

Anomali tentu saja sebuah kata yang jamak dan tidak mengandung kesan berbahaya bagi awam. Namun bagaimanakah bagi si anomali itu sendiri? Apakah justru keawamanlah yang menjadi ancaman baginya.?

Jujur aku merasa terusik, dengan kata anomali. Apakah lantas ketika seorang individu menjadi digolongkan ke dalam anomali kemudian menjadi anggota dari kaum pemuja kegagalan fungsi tertentu di masyarakat. Kaum naas yang hidup dari mengais-ngais pengakuan hanya untuk diterima dalam kehidupan sosial (bermasyarakat secara normal). Kaum yang ditindas karena mempertanyakan “apa itu moral?”. Kaum yang dikucilkan karena sedang sibuk mengkontastasikan nilai-nilai deterministik. Ya apapun semua itu segala kutuk dan sumpah serapah itu menjadikan Kaum Anomali ini hidup bak sampah masyarakat, dan tidak berhak lagi untuk dicintai? Kaum yang sedang dirajam dan sibuk bertahan dari lemparan batu dari para awam yang mengaku tidak berdosa.

Sebentar… sepertinya ada yang keliru dalam struktur sosial masyarakat kita, sehingga hermeneutikanya tidak pernah jalan dalam memahami kaum anomali ini.

Apakah itu anomali?  Menurut KBBI online, kata anomali /ano•ma•li/ (kata benda) memiliki arti antara lain:
  1. ketidaknormalan; penyimpangan dari normal; kelainan; 
  2. (Linguistik) penyimpangan atau kelainan, dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantis suatu bahasa; 
  3. (Teknik) penyimpangan dari keseragaman sifat fisik, sering menjadi perhatian ekplorasi (misalnya anomali waktu-lintas, anomali magnetik)
Dalam bahasa inggris anomaly berarti sesuatu yang menyimpang dari apa yang dianggap standard, normal, atau diharapkan. Dalam konteks astronomi, anomaly adalah jarak suatu sudut dari sebuah planet atau satelit pada posisi perihelion atau perigee terakhir. Secara etimologi kata, anomaly berasal dari bahasa yunani yaitu anomalos atau anomalia. Dalam bahasa yunani anomalos berasal dari gabungan dari dua kata an- (sebagai prefix) yang berarti tidak (negasi dari kata yang dilekatinya) dan homalos yang berarti kejadian.

Oke.. berarti secara substantif bahwa anomali adalah sesuatu yang menyimpang dari yang niscaya. Lantas, apa itu yang menyimpang dan apa itu yang niscaya? Untuk menjawab hal ini maka yang niscaya dapat diandaikan dengan cara berpikir dialektika Hegelian, yaitu adanya absolutism ideal, sesuatu nilai universal yang mampu dipegang untuk menentukan benar atau salah. Ya tentu saja ini menjadi perkara moral. Artinya, dalam sebuah masyarakat, sejauh mana penyimpangan individu-individu ini dalam tata bermasyarakat, cara hidup dan sistem kepercayaannya akan berdampak pada sosial judgement yang dipandang melalui dikotomi biner benar-salah. Dengan kata lain seorang Individu yang dinistakan bersama (dimaklumkan) menjadi pribadi deviant berdasarkan seberapa berbedakah ia “menyimpang” perilakunya dari sesamanya (manusia lainnya).

Apakah anda bagian dari Kaum Anomaly?

Ada hal yang menarik yang dapat kita ambil dari ilmu psikologi, yaitu secara arbiter untuk memetakan identitas kaum anomali. Merapat kepada Junganian school of thought, ada sebuah instrumen populer yang dapat digunakan untuk menyingkap dalam klasifikasi kombinasi manakah anda berada. Myers-Briggs Test Indicator, yaitu sebuah alat untuk mengelompokan tipe kepribadian manusia ke dalam 16 kecenderungan (likelihood) kombinasi. Keuntungan menggunakan perangkat ini adalah, bahwa tingkat penggunaanya yang banyak, dan sehingga sangat dimungkinkan untuk membuat generalisasi karena ketersediaan data yang cukup melimpah.  

Tabel I. Data sebaran 16 tipe temperamen dengan sumber populasi dunia.
Sumber: http://polymath07.blogspot.co.id/2012/10/disenfranchised-by-caution.html
Tabel II. Data probabilitas ditemukannya tipe temperamen tertentu dalam komunitas N=200 (per 100 dan per 1000 laki-laki dan perempuan) , Sumber : http://polymath07.blogspot.co.id/2012/10/disenfranchised-by-caution.html, diolah

Grafik I. Data distribusi frekuensi berdasarkan tipe temperamen tertentu dalam komunitas, diperingkat berdasarkan jenis kelamin perempuan, N=100 , Sumber : http://polymath07.blogspot.co.id/2012/10/disenfranchised-by-caution.html, diolah

Grafik II. Data distribusi frekuensi berdasarkan tipe temperamen tertentu dalam komunitas, diperingkat berdasarkan jenis kelamin laki-laki, N=100 , Sumber : http://polymath07.blogspot.co.id/2012/10/disenfranchised-by-caution.html, diolah

Dari grafik di atas secara deskriptif mengungkap suatu peringkat dari kejadian yang paling sering muncul hingga yang paling jarang. Secara silang tempat data kita langsung mendapatkan sebaran dari yang paling sering muncul hingga yang paling jarang. Berdasarkan grafik di atas, kelompok temperamen yang paling sering muncul adalah (1st) ISTJ, (2nd) ESTJ, (3rd) ISTP, (4th) ISFJ untuk laki-laki (warna biru), sedangkan untuk peremuan (warna merah) adalah (1st) ISFJ, (2nd) ESFJ, (3rd) ESFP, (4th) ISFP. Sebaliknya kelompok ekstrim bawah atau yang jarang muncul adalah (13th) INTJ, (14th) ENTJ, (15th) ENFJ, (16th) INFJ untuk laki-laki, dan (13th) INTP, (14th) ENFJ, (15th) ENTJ, (16th) INTJ untuk perempuan.

Untuk dapat dianalisa, maka kita harus membangun asumsi untuk membantu penalaran kita dalam menyikapi data-data di atas:
  1. Di dunia ini tidak ada kombinasi sifat-sifat kepribadian lain di luar 16 kombinasi tersebut di atas.
  2. Manusia sepanjang waktu hidup stabil atau berupaya memilih atau membangun kenyamanannya sendiri.
  3. Kecenderungan ini tidak terkait waktu, andaikan ditemukan perubahan maka akan hanya bersifat sementara.
  4.  Hasil pengulangan test setiap waktu akan cenderung mengarah kepada hasil terbanyak, sehingga kesalahan atau bias test/ instrument akan terhindarkan sepanjang dilakukan berulang-ulang dan menemukan kecenderungan tertingginya.

Peta sebaran temperamen tersebut tidak diuji disini, karena pada dasarnya sudah cukup memberikan gambaran.  Namun demikian, perlu dipahami bagaimana sebuah struktur berpikir itu bekerja. Dalam menjelaskan hal ini kurva lonceng dapat memberikan inspirasi (perhatikan grafik dibawah). Ada sebuah struktur berpikir melalui nilai universal, yaitu nilai tunggal dan absolut yang disepakati secara bersama. Nilai ini terwakili oleh nilai rata-rata. Apakah itu nilai rata-rata, yaitu nilai yang secara konsisten diakui terkait ruang dan waktu yang mencakup semua elemen penyusunnya. Dengan kata lain diharapkan sama dan tidak berubah. Nilai rata-rata ini pula yang kemudian dapat disikapi sebagai tetapan atau acuan. Contoh: “Nilai anak Ibu di atas rata-rata, hasil pelajarannya baik sekali, nilai-nilai ujiannya selalu sempurna” Artinya adalah anak ibu menyimpang jauh lebih tinggi secara positif dibandingkan anak-anak kebanyakan. Akan tetapi bagaimanakah pergaulan keseharian anak ini? Belum tentu anak ini bisa bergaul layaknya anak-anak kebanyakan, bukan? Mengapa anak ini tidak dapat bergaul dengan teman-teman sebayanya?

Sumber: https://specialedonthebellcurve.files.wordpress.com/2012/06/average.gif
  
Pernyataan diatas sepintas memang benar, artinya dalam kondisi bebas nilai (secara objektif, tidak ada perasaan benci, kepentingan orang tua atas anak, trauma orang tua, dsb.), namun apakah informasi tesebut mampu dimaknai secara sama oleh setiap individu yang terlibat? Atau kah hal tersebut dapat dimaknai secara otentik yang sama? Hal ini tentu saja menyiratkan suatu kesangsian atas kata sepakat dari setiap individu yang mengalami kejadian yang sama. Apalagi jika sistem pemrosesan data/informasi setiap individu itu berbeda-beda, yaitu paling tidak ada 16 jenis proses mental (berdasarkan jenis temperamen) yang digunakan dalam menyikapi realita kehidupan ini, belum lagi aspek budaya yang serta merta ikut berpartisipasi dalam proses pemrograman pikiran manusia (nurture through human nature using culture). Mungkin saja anak itu merasakan amat sedih karena tidak punya teman, selalu dibully diantara teman-teman/ saudara-saudaranya, mungkin saja anak itu menjadi selalu defensif terhadap sesuatu. Mungkin saja anak itu kemudian sering mendapatkan hukuman, dari guru, orang tua, pengasuh, dan siapapun juga untuk mendisiplinkannya. Mungkin masih jarang di masyarakat yang secara 'sadar' menerima keanehan seseorang, dan memakluminya, yang ada adalah semakin aneh, semakin didisiplinkan, semakin didisiplinkan semakin berjarak, dan semakin memicu upaya pendisiplinan lebih keras lagi.



Stop kekerasan dalam bentuk apapun!-(simbolis, verbal, fisik)

Hal ini, mungkin dapat didekati dengan pemikiran alá Nietzchean, bahwa kita (manusia) hendaklah tetap waspada dan menaruh curiga terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan idée-fixe. Manusia itu lemah, dan berkecenderungan untuk segera berpegang pada apa-apa yang sudah tersedia disekelilingnya (baca: norma). Manusia menggunakan sesuatu yang dianggap benar (yang tersedia dalam ingatan bawah sadarnya), kemudian digunakannya untuk membuat keputusan yang terkait dengan moral. Hal ini apabila dikaitkan dengan sikap dan perilaku akan terkait dengan peran seorang individu ketika menjalankan fungsinya sebagai makhluk sosial dalam rangka mewujudkan nilai-nilai universal. Individu ini bertindak kepada individu yang liyan berdasarkan acuan nilai-nilai universal yang bisa diterjemahkan secara bersama melalui bahasa, misalnya hak asasi manusia, kebaikan, keadilan, kepedulian, dan lain sebagainya.

Akan tetapi sejauh manakah nilai-nilai tersebut dapat berperan? Jika kita mengakui salah satu dimensi hakiki manusia adalah kemampuannya dalam menggunakan symbol sebagai cara beradanya (anima symbolicum), bagaimana sebuah praktik bersama atas nilai-nilai tersebut dapat diterjemahkan dan diejawantahkan sesuai dengan konteksnya? Bagaimana kemampuan individu dalam ihwal kebahasaan dan proses membahasakan ini mempengaruhi dekonstruksi makna? Apakah dalam proses komunikasi ini, lantas bisa menimbulkan rasa saling memahami?

Anomali sebuah figur gagal?

Bahwa tulisan ini berangkat dari sebuah premis anomali adalah kegagalan relasi cinta atau interaksi rasa. Di ranah rasa, definisi ini adalah kondisi yang sudah jadi. Atas dasar apa sebuah relasi cinta dianggap gagal? Sejak kapan relasi cinta ada ukurannya? Apakah anomaly ini lantas tidak dapat berinteraksi di wilayah rasa? Apakah dengan kegagalan ini maka anomaly terputus secara praksis terhadap konstruksi cinta? Berada dimanakah masalahnya eksistensialkah? Esensial kah? Bahwa kegamangan akut akan relasi tentu saja melanda setiap insan yang bukan anomaly, bagaimana dengan anomaly itu sendiri?

Tentu saja dengan keterjebakan awam dalam paralogisme ad Hominem I dapat menggugurkan pemikiran seorang anomaly begitu saja. Padahal seorang anomaly belum tentu salah, ngawur, edan, depresi atau tuduhan apalagi bak residivis, karena mereka memproses terma dan definisi dengan logika yang berbeda dengan awam. Perbedaan hasil proses berpikir yang berbeda belum tentu salah, namun kenyataannya kaum awam sudah termanjakan dengan segala sesuatu yang serba sama, serba sepakat, yang selalu tidak membutuhkan kedalaman berpikir. Mengapa hal ini terjadi, secara psikologis kaum awam (ordinary people) berjumlah lebih banyak dibandingkan kaum anomaly. Perhatikan baik-baik grafik-grafik diatas kembali! berbentuk eksponensial bukan? Lantas apa maknanya? Sederhana, semakin banyak kesamaan dari seseorang, terutama cara berpikirnya (mental model dan cognitive prosesnya) maka akan semakin mudah antar individu untuk memiliki arketipenya di dalam bawah sadarnya. Bahwa dari grafik tersebut ada beberapa tipe-tipe temperamen tertentu yang lebih banyak di dalam sebuah komunitas. Artinya, suara dan seruan mereka dalam skala prioritasnya adalah mementingkan golongan mayoritas dan berlagak tuli bagi yang minoritas. Hal ini pun berarti semakin sesorang berada dalam kaum mayoritas, semakin mudah dikenali oleh golongannya, dan semakin tidak sulit (terhindar dari kondisi salah paham, noise minimizing condition) seseorang berelasi menggunakan bahasa (disini tidak hanya tuturan, tetapi bahasa dalam makna yang lebih luas, termasuk gestur, mimik wajah, tindakan, dsb.). Hal ini membuat semakin tidak sulit pula untuk menterjemahkan symbol melalui tanda, dan penandanya. Sebagai contoh, Konsep Pohon, Pohon ya.. benar pohon, tree, der Baum, atau apapun itu, adalah tanaman yang berdaun, berbatang, bercabang, dsb. bukan rumah para lelembut atau makhluk halus!!!
  
Tentu saja tesis yang dipaparkan diatas masih merupakan spekulasi dalam tatanan abstrak dari ranah psikologi. Meskipun demikian, toh nyatanya DSM V (kitab sakti para psikolog dan psikiater) pun masih menggunakan kurva jenis di atas bukan??? …(langsung teringat gugatan Deleuze dan Guattari melalui schizoanalisa)…  Lantas setiap individu anomaly berkemungkinan dianggap edan dong??? Mengidap mental disorder??? Sakit Jiwa???... Ya bisa jadi, kalau menganalisannya menggunakan kurva normal secara membuta dan percaya begitu saja pada para ahli yang mendiagnosa secara dangkal (terjebak dalam Argumentum ad Verecundiam).
   
Akan tetapi, kita kritisi dulu darimana datangnya kegagalan cinta para anomaly ini? Apa yang mendahuluinya? Untuk memahami seorang anomaly tidak sederhana. Anda harus siap menjadi ‘gila’ bersama. Apa artinya? Psikolog akan dengan mudah mencap gila seorang anomaly yang sedang di dalam turbulensi pikiran (berpikir bak ulakan udara yang berupa fluxus dalam ananta). Padahal seorang anomaly ini hanya membutuhkan argumentasi perimbangan dalam mengatasi persoalannya. Oke, mengapa demikian, sederhana jawabannya, seorang anomaly mempunyai moral otentik (bdk. dengan filsafat eksistensial Sartre), dan moral tersebut melekat erat dengan relasi yang terbentuk. Apa dampaknya? Ya secara logika sederhana adalah, yang dapat berelasi tanpa hambatan adalah mereka yang berasal dari kelompok yang sama, yaitu sesama kaum non-anomali dan atau sesama kaum anomaly.
Sampai disini masuklah kita pada dunia biner. Pertama adalah dunia kaum non-anomali, artinya dunia yang dihuni oleh orang-orang kebanyakan. Dunia dengan budaya orang-orang awam, umum, berciri serupa, dalam keharmonisan alá mereka. Kedua adalah dunia kaum anomaly, dunia yang penuh keunikan, berciri tunggal, otentik, tidak pernah sama, selalu berubah, dalam tatanan chaos. Namun, dua dunia itu berada dalam sebuah dunia universal yang membentuk kosmosnya. Apa konsekuensinya dalam kultur masyarakat modern? Hanya ada dua pilihan, pertama seorang anomaly secara naif bersedia dinormalkan (dengan konsekuensi seorang anomaly itu menjadi terasing dari dirinya sendiri, selalu merasa sedih, serba salah, yang pada akhirnya depresi). Pilihan kedua adalah seorang anomaly itu secara naif serba menidak dengan cara berontak, melawan, melanggar apapun norma-norma deterministik dari kaum awam (dengan konsekuensi seorang anomaly akan mencari dunianya sendiri, menciptakan teritori baru, melempar pada dunia ciptaan/ proyeksinya sendiri, mengenal dirinya namun menjadi sociopath pada akhirnya).

Dikotomi dunia biner yang dibangun dalam tulisan ini dapat dipahami dalam rearangka pemikiran Nietzschean. Dunia tipe pertama adalah dunia kaum apollonian, sedangkan dunia tipe kedua adalah dunia kaum dyonisian. Justru disinilah logika biner ini yang mengacaukan, persis bahwa kelompok mayoritas langsung memutuskan dengan mudah bahwa yang minoritas itu keliru. Diputuskan tanpa tahu duduk perkaranya, yaitu jika sesuatu itu mendatangkan bagi kebahagiaan bagi banyak orang maka itulah kebenaran. Jelas disini seorang awam yang menghadapi kaum anomaly langsung terjebak pada pragmatisme alá Jeremy Bentham. Dengan gagal memahaminya kaum anomaly oleh kaum awam, maka jelaslah bahwa ini perkara ad Hominem atau sesat pikir yang mengacu kepada manusianya. Kaum Anomaly langsung dituding sebagai kelompok individu-individu yang tersesat pikirannya, tersesat jiwanya, berpotensi merusak, dan lain sebagainya. Perkara ini mengingatkan pada filsuf besar Friedrich Wilhelm Nietzsche, yang menjadi gila di akhir-akhir masa hidupnya. Tentu saja kegilaan dan sakitnya Nietzsche tidak serta merta kita menggugurkan gagasan-gagasan filosofisnya. Jadi apakah kaum anomaly kemudian masih bisa diberi predikat gagal?  

Ruang Reflektif

Apakah anda merasa gagal dalam cinta, sulit mencari pasangan hidup, merasa lelah dalam hidup karena anda tidak pernah merasa dimengerti sedari kecil. Ada baiknya anda mencoba melakukan test kepribadian, karena siapa tahu anda atau teman anda masuk dalam kelompok kaum anomaly. Dengan mengetahuinya sedini mungkin, paling tidak anda, kami sebagai kaum awam bisa belajar untuk memaklumi dan menerima kaum anomaly ini dan menghargainya sebagai pribadi yang unik.       

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)