Pilar Pertama: Mental—Kecurigaan dan kedalaman pemikir seorang Soliter

Sumber: http://saimg-a.akamaihd.net/saatchi/7488/art/1410234/674710-7.jpg


Suatu hari aku membaca ulasan dalam blog seorang yang berprofesi pengajar. Dia begitu berapi-api, menarik dan menyulam berbagai benang pemikiran. Kesibukannya yang mencoba memahami realitas interaksi manusia, homo homini socius dibedahnya tanpa ampun. Buah-buah pemikiran dari nama-nama besar pemikir sosial pun menjadi bintang-bintang paling terang di antara gelapnya langit semesta. Tulisannya tidak mudah dikunyah, penuh dengan konsep dan konstruk, teori dan eksplanasi. Ketika aku membacanya pun mungkin secara naif aku dapat segera percaya, toh ketika aku membaca profilnya, ia menyandang gelar tertinggi yang dapat diraih seorang mahasiswa dalam pendidikan formal di negeri ini. Namun seorang guru pernah berujar, untuk menaruh curiga terhadap siapa saja yang mengklaim dirinya adalah sumber kebenaran, para filsuf dan sejenisnya.
  
Ada rasa kurang nyaman dan sekaligus kecurigaan. Bukan berarti aku melayangkan tuduhan bahwa sesorang itu tidak memiliki kompetensi, karena aku tidak memiliki hak untuk menghakimi orang itu atas profesi dan gelarnya. Apalagi sebagai anak zaman ini, aku harus patuh dan tunduk terhadap konsensus masyarakat demokratis yang sibuk membangun sebuah tirani kebenaran. Gelar kecendekiaan menjadi simbol pemujaan. Sebuah bentuk emblem yang disematkan akan sebuah kekudusan, karena mereka secara beruntung telah diterima menjadi bagian dari tubuh para dewa-dewa.

“All great things must first wear terrifying and monstrous masks, in order to inscribe themselves on the hearts of humanity.” F. W. Nietzsche

Atas dasar apa aku butuh curiga? Atas dasar apa pula aku butuh percaya? Barangkali dalam Jenseits von Gut und Böse §289 terj. Wibowo (2004). Ini, aku membangun sebuah pilar, yaitu pilar mental. Sebuah mental yang memiliki kekuatan untuk curiga dan bersedia untuk menyibak tabir realitas. Di dalam buku itu Nietzsche menulis:

“Pada tulisan seorang soliter, kita selalu mengamati adanya semacam gema padang pasir, sesuatu yang mengingatkan kita pada keluhan dan kegamangan liar yang muncul dari kesendirian. Bahkan kata-katanya yang paling keras, teriak jeritannya, terdengar lagi secara baru, secara lebih berbahaya untuk menutup mulut dan membungkam kata-kata. Dia yang selama bertahun-tahun, siang maupun malam, terus menerus berdebat secara intim dengan jiwanya sendiri, di dalam gua-nya—yang bisa jadi merupakan labirin, tapi bisa juga tempat harta karun—, dia menjadi beruang penjaga gua atau pemburu harta karun, atau seekor naga penjaga harta karun. Orang itu akan melihat bahwa ide-idenya pun mulai berwarna senja, beraroma jurang dan jamur, menjadi sesuatu yang tidak bisa dikomunikasikan, membosankan, dan akan segera membuat beku siapa saja yang ada dalam jangkauannya. Si soliter percaya bahwa tak satu filsuf pun […] pernah mengungkapkan benar-benar dalam buku-buku opini mereka yang sesungguhnya; bukankah buku-buku memang ditulis untuk menyamarkan apa yang disembunyikan? Si soliter bahkan juga meragukan apakah seorang filsuf bisa memiliki opini ‘yang sebenarnya dan yang ultim’. Dia bertanya-tanya jangan-jangan di balik gua tersebut akan terbuka, dan harus terbuka, gua lain yang lebih dalam—sebuah dunia yang lebih luas, lebih asing, dan lebih kaya terbentang di bawah permukaan, jangan-jangan sebuah bawah tanah selalu ada di bawah tiap dasaar, pada tiap ‘dasar’ pemikiran. Seluruh filsafat adalah filsafat permukaan, itulah penilaian si soliter: ‘ada sesuatu yang sewenang-wenang dalam filsafat, hal itu bisa dirasakan dari fakta bahwa yang satu berhenti di sini untuk menengok ke belakang dan sekitarnya, berhenti menggali di sini dan menaruh linggisnya; dia menjadi curiga’ Seluruh filsafat menyamarkan sebuah filsafat lainnya; semua opini adalah tempat persembunyian; semua kata adalah topeng.

Teks yang kuceritakan sebelumnya tadi berbicara mengenai tafsir si penulis nya atas karya pemikiran postmodernisme. Bisa jadi ia juga memberikan refleksi dan opini di atas pemikiran itu. Aku hanya bisa menaruh curiga saja, itulah apresiasi terbesarku terhadap teks-teksnya yang aneh-aneh namun masuk akal. Kenyataannya pun kita sering diombang-ambingkan dalam permainan kata, terjebak dalam imajinasi si penulis agar percaya. Ketika dipikir-pikir, ternyata ya masih logis dan masuk akal juga. Lantas dimanakah kebenarannya? Apakah kebenaran itu sudah dicurinya? Disembunyikannya sebagai susuatu yang sangat berharga bagi dirinya?

Nietzsche mengajarkan kita untuk memiliki ketahanan mental (mental endurance) untuk menyingkap realitas. Nietzsche adalah guru kecurigaan. Pelajaran yang paling berharga dalam gaya filsafat Nietzsche adalah keberaniannya untuk berada di dalam sebuah tegangan yaitu secara naif berkata iya dan secara naif berkata tidak. Sikap seperti bayi, seperti pada teks Also Sprach Zarathustra, “Von den drei Verwandlungen” terj. Wibowo (2004):

Sebabnya adalah karena bayi adalah kepolosan dan pelupaan, permulaan baru, permainan, roda yang bergerak dari dirinya sendiri, penggerak pertama, afirmasi kudus. Sebenarnya, saudara-saudaraku, untuk memainkan permainan para pencipta dibutuhkan sebuah afirmasi kudus; kehendak dia sendirilah yang sekarang menghendaki sang roh; siapa yang kehilangan dunia mendapatkan dunianya sendiri.

Ia meminta kita untuk tetap selalu memiliki sikap santun di hadapan realitas, yaitu ketidakterbatasan. Ketahanan mental ini bukanlah sesuatu yang bersifat baku, dan kaku, bisa diseragamkan (misalnya oleh pelatihan atau program pengajaran di Universitas) akan tetapi lebih disesuaikan dan dicukupkan pada pribadi seseorang itu. Dalam bukunya A. Setyo Wibowo (2004), menginterpretasikan bahwa Nietzsche tidak pernah meminta kita untuk memiliki ketahanan mental seperti dirinya, atau meniru jalan hidupnya. Ia meminta kita untuk mencukupkan diri kita dengan sajian yang tersedia. Ia menawarkan suatu ‘hidangan’ untuk dicicipi, bukan untuk ditiru atau di-copy. Memang Nietzsche menawarkan kepada pembacanya untuk menjadi ‘nietzschean’, tetapi bukan dengan meniru-niru Nietzsche melainkan dengan menjadi diri sendiri seperti yang dikatakan di dalam Die fröhliche Wissenschaft (La Gaya Scienza) §54:

“Kepada Pembaca (atau: “Dipersembahkan untuk Pembaca Fajar”).Gigi yang kokoh, perut yang kuat. Itulah yang saya harapkan darimu. Dan kalau bukuku sudah kau cerna pasti kau tahu bagaimana mengerti dirimu sendiri bersamaku!

Inilah yang ditawarkan Nietzsche, ketahanan mental yang sesuai dengan diri kita. Pemikiran dianalogikan seperti proses memamahbiak. Pemikiran bukanlah sesuatu yang eksterior dan abstrak, ia mirip rumput yang mesti dimamahbiak untuk kemudian dicerna sang lembu. Hanya dengan dikunyah ulang dan dicerna, rumput akan menjadi darah dan daging, tertubuhkan. Demikian pula sebaliknya. Maksudnya bahwa pemikiran tidak pernah bersifat eksterior. Ia tidak hanya keluar dari otak manusia, melainkan dari seluruh kebertubuhan manusia itu sendiri, dari darah dan dagingnya (Wibowo, 2004).

Kembali ke seorang figur pengajar tadi, kecurigaanku belum terobati. Rasa penasaran terhadap apa yang disembunyikan dalam teks membuatku berhati-hati. Tidak ada yang sempurna dalam tubuh telanjang. Kesempurnaan hanya bisa dikenali melalui selubung dan topeng. Akan tetapi bagaimanakah kita mampu untuk menyingkap apa-apa yang ada dibalik topeng? Bagaimanakah kita menyibak tabir yang ada? Melalui teks kita bisa mengenali pola-pola persona. Kebiasaan menulis akan mencerminkan pribadi si penulisnya. There is no outside-text! begitu ujaran yang terkenal dari Derrida. Persis seperti kecurigaan Nietzsche pada kata. Namun hal itu semua kekuatan mental kita sendiri yang pada akhirnya yang membuat kita mampu hidup menatap ketakterbatasan.



Bersambung… Pilar kedua: Passion


Referensi

Wibowo, A. S. (2004). Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)