Pilar Kedua: Pasio

Suatu hari saya menerima pesan singkat di layar gawai saya. Whatsupp dari nomor +86136…, Ia menyapa saya dengan akrab dan bertanya.

“Sekarang domisili dimana?”

Alih-alih saya membalas pesan singkat itu, saya berpikir siapakah yang menghubungi sambil menerka-nerka dari manakah asal kode negara yang ada dalam nomor itu. Ah.. pasti seorang sahabat lama, siapa lagi jika bukan. Memang saya akhir-akhir ini lebih menutup diri. Bagi yang agak sensitif dengan paham kolektivisme dan mengiyakan bahwa “Neraka adalah orang lain” memang hidup dalam cangkang itu memberi rasa nyaman dan juga berasa aman. Toh andaikan ia hendak menawari saya Multi Level Marketing atau kesempatan menjadi nasabah investasi tertentu akan tidak cukup berprospek.

Sisa-sisa Kuil Dewa Apollo di Delphi, Athena, Yunani, sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Delphi

Lantas kubuka pesan itu. Ia pun dengan segera membalas pesanku.

“Sibuk di galeri seni?”

“Ga mau lanjut doctoral? Hehe…”

Sungguh tidak disangka Ia langsung melemparku dengan pertanyaan bak granat tangan. Iya memang status saya adalah buronan akademis. Saya pun tahu dan sadar telah memupus harapan banyak orang dengan kekecewaan. Alih-alih bekerja di industri pendidikan, malah sibuk keluyuran demi lukisan dan seniman. Untungnya pekerjaan saya ini masih ada nyerempet-nyerempetnya dengan bidang ilmu yang saya selami. Nggak tahu, sering saya terjebak dengan ekspektasi-ekspektasi yang berlebihan dari orang lain. Padahal kenyataannya, saya ini kalau dulu ujian saja sering stress, di kelas sibuk tidur. Lebih baik sendirian di kosan. Ya bagaimana, senyatanya saya ini hanya seorang soliter, seorang penyendiri di tengah perpustakaan kecil yang saya bangun dengan motivasi hanya agar saya tidak mati kebosanan. Bak seorang pengembara, perjalanan cerita di buku-buku memang begitu membuai petapa yang cenderung anti kemapanan ini. Pun kenyataannya, hidup saja setengahnya masih menumpang orang. Alih-alih mengejar keidealan dengan ambisi para nabi, saya jujur malah apatis terhadap perkembangan zaman sekaligus masa depan. Bukankah masa depan itu suatu hal transenden yang malah membuat hidup ini menjadi bermakna ilusif, pseudo, kedustaan duniawi?

Namun, dua pertanyaan itu mengajak saya kembali ke awal tahun 2008. Dimana saya baru saja lulus dan masih diganggu oleh mimpi-mimpi indah surgawi, cita-cita kemashuran untuk segera berkiprah di dunia kerja. Tentu saja tren gagasan hidup kala itu, yang langsung bisa diterka dengan suatu logika linearitas. Apa yang ideal kala itu? Sederhana! Lulus kuliah, IPK diatas 2,75, memiliki score toefl minimal 500, sukur-sukur bisa 550, segera melamar pekerjaan, diterima kerja, punya gaji yang cukup besar karena diterima di perusahaan asing atau minimal Multi National Company, dan dalam dua tahun segera mengambil S2 dengan beasiswa yang disediakan oleh instansi dimana kita bernaung. Tentu saja jenjang karir dan akademis sudah diandaikan suatu ketersituasian yang saling terpisah.

Apa yang terjadi di tahun 2008 itu, ternyata saya masih menyimpan tulisan yang juga saya posting di blog. Saya baca kembali catatan itu, ternyata cukup menarik mengenali cara berpikir saya kala itu. Seperti ini postingannya dengan judul berhubungan dengan refleksi saya ini:


Sabtu, 31 Januari 2008, 23.27 UTC

Learning Pillar #2: Passion

“Do I precisely know myself?” Sometime I asked to myself whether my job is really best fitted to me and everything I do is something that I surely desire. I think that is a normal question about what we have done and what we have become. In our routine activity, we have a lot of task, which are we do it happily that means you do not find any difficulties and do not have such suffer feeling when you do it, or we always deny it and make several opinion in order to refuse it. When you were a student, I guessed you were ever picky in your field of study. Not one or two subjects, maybe you only chose one field only, which was the most subject that you really love. For several people, mathematics is the easiest subject in High School and the others choose Music class or Athletics club, because they do that easily and always pick a glorious moment on that.

This matter is always related to “that’s what called with passion”. Passion is something that I really believe which is given as gift by God. Some expert says “Passion can be made with some kind of practice activity”. But actually I don’t believe that. In my opinion passion cannot be made but all you can do is to find it, because passion is closely related to your personality and implies characteristics. You cannot change your personality because that is like a build in operating system in your brain, but you can control it with your contra personality. Say, you are introverted person so you do something that absolutely contrary with, an extroverted personality. This is like you are cheating in yourself.

The best person who knows you better is yourself, nobody knows you like yourself. That maxim drives us to let know who we exactly are. To know our true passion is you need to look down inside yourself. What is in the deep rooted your character exist. There are some ways to find it, but I just noted with this small questions “who are you and what will you become?” And then you can brainstorm the next questions. To know yourself and your passion is important, why? Because when you know what you love to do, you always to do that with happiness and such of joy, you will love your activity, job, career and moreover your life, because everything you do, you always love it. You will always complete your task with high quality value, and as a bonus and benefit, you will harvest a success in whatever you have done.

Actually, to find your passion is not quite easy as we talked. You need patience and several tools to help you and to make it easier. Maybe you can take a psychological test, if you are unable to know yourself, at least that test is quite objective. I did a Myers-Brigs Test Indicator (MBTI) several times ago, and I found the test close enough and can portray my personality, although that has some mistakes. But it is okay because that result is formulated from the theories that generalize from people behavior and empirical study. You can visit the website http://www.mypersonality.info to take 75-80 questions to know your characteristic. After you know the result, you need to reflect it to yourself whether the result is quite represent your personality or not, and the important thing is you need to be honest to yourself. I hope you can find your true passion and then you are able to explore yourself and make a quantum leap in your life.

You can visit these website to know about passion further.

http://www.lifehack.org/articles/lifestyle/how-to-find-your-passion.html
http://www.pickthebrain.com/blog/find-your-passion/
http://www.ineedmotivation.com/blog/2008/04/7-questions-to-finding-your-true-passion/
http://www.pluginid.com/how-to-find-your-passion/
http://www.quintcareers.com/finding_career_passion.html


Refleksi atas Pilar Pembelajaran Kedua: Pasio[1] 

Werkudara alias Bima yang bertemu Dewaruci yang tidak lain adalah cermin dari dirinya sendiri (the Self), sumber: https://wayang.files.wordpress.com

Tulisan diatas merupakan arsip lama saya yang kira-kira saya tulis di masa saya baru saja lulus tingkat Strata Satu. Ketika masih memiliki optimisme semu akan hidup. Sibuk berpacu dengan teman-teman satu angkatan untuk meraih jenjang kehidupan selanjutnya yaitu dunia kerja. Tulisan itu pun membawa saya dalam permenungan lebih jauh, mengenai Pasio. Suatu hal yang terumus dalam suatu keawaman dan kebimbangan saya kala itu. Tulisan itu pun juga kemudian menghantui saya, apakah memang takdir (physis)  saya untuk menjadi hantu-hantu perpustakaan, yang sibuk menjejakan huruf dan kata demi kekayaan logos digital ini?

Sewaktu saya membaca kalimat pertama tulisan itu, saya langsung teringat suatu kata-kata yang terukir di depan kuil Dewa Apollo di Delphi. γνῶθι σεαυτόν (baca: gnothi seauton) yang berarti “kenalilah dirimu sendiri!, know yourself!, erkenn dich selbst!”  Lantas apa kaitannya Passion dengan diri sendiri? Passion secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu passio, pati dan dalam bahasa Yunani adalah pathos, phaskein yang secara sama berarti menderita. Derita disini sebagai suatu objek yang diterima secara ke dalam atau di-iya-i oleh kita yang menyebabkan kita menyadari dan lantas ada suatu tuntutan untuk menanggapi akan hal itu. Menurut Aristoteles, pasio merupakan bentuk pasivitas, yaitu bermakna ketika kita sedang dikenai (menderita) apa.

Tulisan kala itu secara sederhana menawarkan suatu opini-opini dan instrumen modern untuk membantu kita mengenali diri sendiri. Tentu saja dengan bantuan ilmu psikologi, secara nalar kita akan mampu mendeskripsikan diri kita sendiri. Akan tetapi, apakah lantas kita memahami diri kita sendiri? Jujur saja, ketika dahulu saya masih sering mengisi lembar-lembar biodata dan survey tanya jawab penerimaan masuk pekerjaan, saya seringkali mendapatkan pertanyaan “Sebutkan apa saja yang menjadi kekuatan dirimu?” dan “Apa saja kelemahan dari dirimu?” (Jujur, ini merupakan pertanyaan dari instrumen manajemen sumber daya manusia paling konyol yang pernah dibuat untuk mencari jawaban atas perihal substansi dari diri seseorang—saya berani berdebat soal ini).

Meskipun demikian, hal yang menarik adalah ternyata saya sudah sejauh ini secara konsisten menulis di dalam blog ini. Saya justru bertanya-tanya saat ini “dari mana datangnya hobby menulis saya ini? Kapan saya mulai tergerak untuk tetap membaca dan apalagi menyadurnya dalam rupa artikel-artikel eklektis semacam ini?”. Lupa atau tidak sadar, sehingga saya tidak memiliki ingatan akan hal itu. Saat ini menulis bagi saya merupakan suatu kegiatan yang cukup menghibur, killing time, toh tidak ada tujuan apapun selain kemenjadian itu sendiri. Ini ruang saya untuk bertemu dengan diri saya secara intim. Ini juga ruang untuk berbincang dengan sahabat-sahabat saya dari ratusan abad yang lalu, yang hingga kini mereka tetap hidup. Bahwa dengan menulis ini lah saya bertemu dengan diri saya. Akan tetapi, apakah betul demikian? Bukankah itu bukan pelarian diri saya dari realitas saja? Bukankah setiap saya (laki-laki) justru harus mengejar sesuatu forma idealnya, yaitu kerja, kaya raya, dipuja, dan berkuasa? Apakah hanya dengan begitu saja suatu realitas ‘kelaki-lakian’ dapat dipahami?

Yah memang dunia material seperti sekarang ini sungguh manjur apabila diretas dengan menggunakan Teori Substansi dari Aristoteles. Teori ini merupakan suatu pengkategorian di dalam benak kita untuk memahami realitas seada-adanya. Siapa atau apa saya ini? Saya adalah Nicholas, seorang manusia. Secara substansi bahwa manusia akan memiliki kategori-kategori aksidens yang dibentuk melalui istilah-istilah pada aktivitas predikasi. Sederhananya Nicholas yang saya ini adalah manusia yang bermakna partikular, sedangkan Nicholas yang adalah manusia, juga berciri universal yang sama dengan manusia lainnya.

Akan tetapi, bagaimana dalam suatu pasivitas Nicholas ini menghadapi sesuatu yang datang. Dalam dimensi pasivitas, kita tidak sedang memahami aktivitas yang kita lakukan sekarang ini dalam rangka gerak menuju ke sesuatu (dalam dimensi ruang dan waktu). Sepakat dengan Heidegger bahwa kita ‘sedang menuju kematian’ dan ‘kita sedang sibuk menunggu’. Kata menunggu disini jelas bahwa secara predikat kita sedang dalam pasivitas kita sendiri. Artinya, kita tidak pergi kemana-mana, disini saja, pekerjaan, kuliah, perintah, teman, penyakit, berita, cuaca, dan apa-apa saja yang dapat sejauh kita maknai ketika kita sedang dalam passive state ini. Hal itu semua merupakan apa-apa saja yang datang menghampiri hidup kita, artinya apa-apa saja yang membuat diri kita menderita. Dengan logika semacam ini, apa yang diluar dari diri kita akan bermakna negatif dan akan berujung pada mengurung diri, atau mengisolasi dari realitas yang akan selalu kita maknai secara negatif.

Lukisan Raphael tentang kaum terdidik di Yunani, terlihat Platon yang menunjuk ke atas, yang satu, yaitu Idea, dan Aristoteles yang menunjuk ke bawah dengan lima jarinya, akan realitas seada-adanya, Substansi dan elemen kategoris (aksidens). sumber: http://cdn.history.com/sites/2/2014/01/plato-H.jpeg

 Apakah memang dunia ini negatif par excellence untuk diri kita? Tentu saja tidak demikian, memang kita sedang menunggu, akan tetapi apa-apa yang datang tidak perlu ditidak seperti halnya Socrates atau Schopenhauer yang memandang dunia secara negatif melulu. Segala realitas yang datang pada diri kita, sejatinya akan berhadapan dengan rasio kita sendiri. Ada pelajaran menarik dari kaum terpelajar Stoa. Ia mengibaratkan kita ini seperti Anjing yang diikat dengan kereta. Kereta ini adalah takdir kita, yaitu kita tidak akan pernah bisa lepas dari realitas kita. Dalam ruang terisolasi sekalipun, kita masih menyadari ada kaki tangan badan dan bahkan ketika sense kita ‘dimatikan’ masih ada pikiran kita sebagai realitas bahwa ‘aku sedang berpikir’. Kita dalam menghadapi realitas kita yang terseret-seret kereta seperti itu dengan meloncat-loncat kegirangan, atau kah dengan melawan dan melolong karena mengeluh kesakitan. Pelajaran berharga dari kaum Stoa ini, mengajarkan apa-apa yang datang dari luar ini, yang mengenai kita, kita memiliki kuasa mutlak akan hal ini, yaitu dengan latihan (Askese) disiplin logika. Kaum Stoa mengajarkan bahwa dengan mampu mengkategorisasi ‘apa-apa yang up-to-us” dan apa-apa yang not up-to-us” akan mampu membawa kita kedalam kondisi Ataraksia atau Apatheia (dari kata Apathos yang artinya apatis, tidak dikenai lagi, tidak menderita lagi). Artinya dunia ini, ya hanya material (objek) saja, dengan segala attribut-attribut -in-itself-nya. Dalam hal ini, kaum Stoa memandang realitas sesungguhnya hanya ada di dalam benak kita, segala yang kita maknai akan realitas seada-adanya itu tidak lain adalah persepsi kita akan realitas itu sendiri.

Merujuk pada teori alam pikiran David Hume (1711-1776), pasio (apa yang hari ini kita sebut sebagai emosi-emosi, perasaan-perasaan, dan hasrat-hasrat) adalah suatu kesan (impresi, impression) alih-alih merujuk pada idea (orisinal, jelas, dan merupakan persepsi yang hidup, yang bukan suatu bentuk copy dari persepsi-persepsi lainnya-bdk. Teori idea Platonisme). Hume membagi Pasio menjadi dua, yaitu langsung dan tak langsung. pasio langsung melingkupi hasrat (desire), aksi tanggap menghindar (aversion), harapan (hope), takut (fear), kesedihan (grief), dan kebahagiaan (joy). Sedangkan, pasio tak langsung  melingkupi rasa bangga, rasa malu (shame, humility), cinta dan benci. Pasio langsung merupakan kesan yang muncul seketika dengan hal-hal yang berkaitan dengan baik dan buruk, malaikat dan iblis, rasa sakit dan nikmat, yang kita alami atau pikirkan dalam kaitannya dengan kemungkinan kejadiaan yang akan datang atau terjadi di masa depan. Sedangkan pasio tak langsung merupakan kesan yang dibangkitkan secara lebih kompleks, namun sesuatu itu tetap melibatkan perasaan sakit maupun nikmat. Segala aksi manusia yang bertujuan (intesional) disebabkan oleh pasio langsung ini (termasuk insting di dalamnya), namun rasa bangga, malu, cinta dan benci, tidak serta merta berujung pada suatu tindakan atau aksi.

Untuk mengakhiri celotehan refleksi atas tulisan tersebut. Memang dalam arti ini pasio bukan dalam arti sesuatu yang harus dicari, akan tetapi kesadaran akan diri sendirilah yang berani terbuka dan menyadari atas apa-apa yang dalam segala pasivitas kita, justru mampu memberikan dorongan untuk secara teguh dan konsisten untuk menjadi objek penderita bagi hal itu. Pasio merupakan suatu kesan yang muncul dari hasil atas proses kemenjadian kita sendiri. Semoga saja dalam hal ini penulis semakin mantab untuk berani menuju jenjang pendidikan selanjutnya, karena menjadi doktor dalam suatu bidang ilmu sejatinya adalah menjadi filsuf pada bidang ilmu tersebut, bukan gelar untuk keren-kerenan, gagah-gagahan, simbol kekuasaan, dan segala jenis kebiasaan kaum Sophist. Ya saya sadar, nampaknya hingga saat ini pun saya belum merasa pantas untuk menjalaninya. Sudahkah kamu tahu siapa kamu itu, dirimu itu? γνῶθι σεαυτόν

Catatan-catatan:
[1] Penulis menggunakan kata pasio sebagai terjemahan dari passion. Dalam Bahasa Inggris, passion memiliki banyak arti dan terkait dengan konteksnya. Merujuk pada kamus Merriam-Webster online kata passion misalnya dalam konteks percintaan, dapat diartikan sebagai hasrat/dorongan seksual, atau atas objek tertentu dengan ketertarikan yang mendalam. Hal itu juga dapat diartikan dalam sesuatu yang melibatkan emosi seseorang, yaitu dorongan dengan intensitas tertentu yang melibatkan ketekunan dan keteguhan hati. Dalam hal ini, hemat penulis sebagai kata passion tidak tepat apabila jika hanya diterjemahkan sebagai suatu gairah atau gemar, karena hal ini mengandung makna kesenangan, padahal passion tidak demikian, hal ini lebih bertitik tolak pada suatu dorongan hebat yang memberanikan seseorang untuk merasakan suatu penderitaan. Kata passion sendiri merujuk pada kejadian dari Injil yang mengingatkan kita akan kisah sengsara Yesus Kristus demi penebusan dosa (kebaikan).


Nantikan artikel selanjutnya... Pilar Ketiga: Sepenuh Jiwa 

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)