Aspek-Aspek dari Teori Sosial (3): Fokus Teoritis dan Tingkat Analisa

Menulis tugas akhir pada umumnya bukanlah sesuatu yang nikmat, selalu mengundang kegalauan akut bagi setiap pribadi yang mengalaminya. Tugas akhir selalu diandaikan sebagai cobaan hidup, ia dipandang sebagai penghambat keinginan-keinginan dan harapan seseorang untuk melanjutkan tahapan kehidupan ini. Jujur saja, ada yang putus kuliah, ada yang telat menikah gara-gara tugas karya ilmiahnya mandeg, ada juga yang sampai diputus sama pacarnya karena pacarnya lelah menjadi keranjang sampah curhat yang isinya itu-itu saja dan pada akhirnya si pacar menganggap calon suaminya ini dinilai tidak punya tanggung jawab terhadap dirinya. Hal-hal seperti ini banyak mewarnai cerita drama-drama tragedi mahasiswa akibat terbentur karya ilmiah. Pun demikian hal ini bisa dihindari apabila mahasiswa memahami tentang alur penteorian, fokus teoritis dan tingkat analisa, ketika ia menyusun bab pendahuluan dan bab kajian pustaka, karena ia akan dengan lancar dalam mengargumentasikan dan selanjutnya akan lebih mudah ketika ia memasuki tahap pengambilan data dan pengolahannya.


Terlepas dari artikel sebelumnya terkait arah penteorian, bahasan kali ini lebih sederhana, namun besar manfaatnya. Bahwa telah dijelaskan sebelumnya, jika teori itu memiliki elemen-elemen penyusunnya, dalam bahasan kali ini penulis ingin memaparkan tentang tingkat analisa (level of analysis) dan fokus teoritis (theoretical focus). Mengapa dua hal ini penting? Dalam hemat penulis yang pernah melakukan berbagai macam riset, meskipun hanya sebagai peneliti junior, pun pernah merasa dirundung resah tak berujung karena mentok pada proses penulisan karya ilmiah, karena penulis tidak berhasil memutuskan asosiasi apa antara teori dan data empiris. Artinya pada saat itu, penulis tidak cukup merefleksikan berbagai referensi yang telah dibacanya. Proses analisa dan berfokus pada apa yang hendak diteliti bukanlah hal yang mudah dan ditentukan antara lain: oleh tingkat kerajinan mahasiswa dalam mengunjungi perpustakaan, hadir pada ekspose-ekspose proposal makalah ilmiah atau pun seminar, membaca artikel sebanyak-banyaknya namun tidak direfleksikan, atau sudah mendapat nilai A pada mata kuliah metode penelitian ilmiah, dan seterusnya.

Katakanlah seorang mahasiswa sudah merasa tertarik dan nyaman dengan suatu realitas di sekitarnya. Maka tugas selanjutnya seorang mahasiswa itu adalah mencari pendekatan teoritis terhadap gejala-gejala yang ditangkapnya. Misalkan saja seorang mahasiswa yang tidak suka berpakaian formal, lantas ia tertarik untuk meneliti asosiasi antara gaya berbusana karyawan dengan tingkat stress pada sebuah organisasi/ perusahaan. Maka seorang mahasiswa itu harus mencari justifikasi apa yang ia yakini dengan apa yang menjadi kebenarannya (lihat: Epistemologi). Karena sesuatu penjelasan untuk menjadi ilmu pengetahuan menuntut adanya metode ilmiah dan proses berlogika yang ketat, maka ia perlu mencari teori apa yang tepat digunakan untuk menjelmakan topik penelitiannya itu menjadi sebuah laporan penelitian yang memenuhi standar komunitas ilmiah.

Fokus Teoritis
Neuman (2014) memaparkan terdapat dua jenis fokus teoritis, yaitu: (1) Teori Substantif, yang berfokus pada kandungan partikular atau area topik pada realitas sosial empiris, misalnya: relasi keluarga, perilaku kenakalan remaja, relasi ras-etnis, dslb; (2) Teori Formal, yang berfokus pada sesuatu hal yang bersifat umum dan abstrak, khususnya proses-proses umum atau struktur yang dapat diterapkan antar ranah topik penelitian, misalnya: pebentukan suatu identitas sosial, keterlibatan dalam konflik, penggunaan kuasa. Secara spesifik pada penelitian deduktif, penentuan teori yang akan dibuktikan secara empiris ini menjadi sakral. Hal ini dikarenakan penelitian deduktif selalu bertolak dari teori atau proposisi yang sudah mapan secara apriori dan hendak dibuktikan secara empiris. Sedangkan pada penelitian induktif, teori sendiri akan digali melalui proses penteorian mendasar melalui pengamatan dan pengalaman langsung empiris. Fokus teoritis ini, selalu menuntut posisi peneliti untuk menentukan mekanisme mediasi logis antara bingkai teoritis dan realitas sosial empiris.

Area kerja fokus teoritis dan tingkat analisa dengan arah penteorian, sumber gambar: Neuman (2014) diolah penulis.

Apabila dicermati dari gambar di atas, bahwa fokus teoritis dan tingkat analisa juga sangat dipengaruhi oleh arah penteorian. Pada arah deduktif, keberhasilan peneliti dalam menghipotesakan suatu uji menuntut kecermatannya dalam mendeduksikan argumentasi-argumentasi yang berada pada bingkai teoritis tertentu, menjadi suatu bentuk formal. Hal ini menjadi sangat khas ketika anda sedang menyusun karya ilmiah, anda akan menghadapi berbagai literatur-literatur pendukung untuk anda sarikan menjadi bentuk sintesis yang terfokus pada teori yang hendak anda uji, dari bentuk formal anda sesuaikan dengan konteks pengujian empiris yang bersifat substantif. Sebagai contoh: teori keuangan hipotesis pasar yang efisien merupakan bentuk abstrak dari fenomena transaksi pasar, bentuk formalnya adalah pembuktian matematis, namun ketika hendak diujikan model matematis tersebut diaplikasikan secara substantif dengan data di suatu pasar modal Indonesia.
  
Di sisi lain, pada arah induktif, peneliti tidak dapat serta merta langsung membingkai fenomena sosial, peneliti harus memiliki sikap keterbukaan terhadap realitas gejala yang menarik perhatiaannya. Peneliti secara bijak dan rendah hati harus menangguhkan pengetahuan apapun yang telah dimilikinya, agar tidak secara cepat-cepat memaknai fenomena empiris yang ditangkapnya. Peneliti melihat lebih dahulu secara lengkap fenomenanya, kemudian baru menarik benang merah seraya menyusun formasi-formasi konseptual dari apa yang ditemukannya, baru kemudian ia mencari pendasaran pada disiplin ilmu tertentu (biasanya menggunakan disiplin ilmu filsafat). Setelah ia berhasil merelasikan berbagai konsep dan asumsi pada tatanan empiris, maka ia akan mengupayakan bentuk formal dari apa yang menjadi temuannya. Misalnya seorang peneliti hendak mengeksplorasi apa yang terjadi dengan fenomena perselingkuhan. Ia tidak hanya dituntut untuk mengetahui bahwa si A dan si B berselingkuh karena si B telah memiliki pasangan si C. Peneliti harus memahami benar mengapa si A dan si B berselingkuh, mungkin juga dalam hal ini peneliti tersebut juga perlu mengalami dan sekaligus menghayati apa dan bagaimana selingkuh itu. Pemahaman dan penghayatan menuntut kedalaman sebuah perasaan si subjek agar mendapati suatu kelengkapan data atas relasi perselingkuhan itu. Data dan fakta yang didapatkannya kemudian dijangkarkannya pada teori dasar (misalnya teori libido Freudian), setelah itu secara rekursif (bolak-balik) ia menyusun teori formalnya. Teori dasar ini menjadi titik tolak ketika peneliti tersebut berargumentasi dan membentuk proposisi sebagai penjelasan yang kuat.
      
Tingkat Analisa
Setelah kita tahu mengenai fokus teoritis, mari kita bertolak menuju tingkat analisa. Sebelum penulis memaparkan apa itu tingkat analisa, penulis hendak mengajak pembaca membayangkan bahwa realitas itu berlapis-lapis seperti halnya bawang merah. Hal ini penting dilakukan, bahwa peneliti perlu mengimajinasikan realitas yang hendak ia kaji. Sebagai contoh pada ilmu manajemen, suatu organisasi tidak dapat dipandang begitu saja seperti rangkaian gigi roda atau hanya berupa struktur organisasi yang kaku dan serba pasti seperti halnya mesin. Di dalam organisasi akan selalu terdapat individu-individu, kelompok-kelompok kerja spesifik, kelompok-kelompok kerja divisi/departemen, serikat buruh, dan lain sebagainya yang mereka tidak saling asing, berdiri dan bekerja sendiri-sendiri, namun mereka merupakan otonom-otonom yang mampu memisahkan diri dan meleburkan diri tergantung konteks pekerjaannya. Secara sederhana, ide bawang ini dapat digambarkan seperti bagan dibawah ini (penampang bawang yang dibelah).

Tingkat analisa dalam analogi penampang bawang merah, sumber gambar: penulis.

Dalam hal tingkat analisa, Neuman (2014) mentautkan dua sisi ekstrim teori berdasarkan cakupannya, periodenya, dan fokusnya. Ia mengandaikan tingkatan teori seperti bidang datar dengan berbagai perimeter kajian. Dalam hal ini, penulis hendak menambahkan konsep dasar filsafat dalam menjelaskan realitas yaitu hubungan yang universal dan partikular sebagai dimensi ketiga dari bidang datar Neuman ini. Hal ini dirasakan perlu, karena pada hakikatnya proyeksi keruangan dalam benak ini dapat memberikan tafsir yang berbeda apabila kita tidak mempertimbangkannya secara lengkap. Sebagai contoh dalam rangka menjelaskan fenomena sosial secara makro, apakah sesuatu yang makro ini merupakan susunan atas fenomena yang mikro. Tentu saja tidak demikian sederhana,. Sebagai contoh pada argumentasi sosiologi, seorang yang percaya agama maka akan bertindak sesuai anjuran moralnya, ketika ia mempercayai bahwa agama yang ia anut merupakan terang wahyu dari Tuhan yang bersifat universal. Akan tetapi, dalam konteks ateisme, hal-hal yang bersifat eksistensial (partikular - tingkatan mikro), atau dalam hal ini perilaku individu dengan individu yang liyan katakanlah perilaku kaum agamis, lantas menentukan suatu bentuk forma idealnya (tingkatan makro) dalam bentuk norma-norma moral yang secara turun temurun dan menyejarah disebarkan oleh individu-individu yang dipercaya memberikan pencerahan jalan hidup. Bukankah, individu-individu semacam ini tidak lain hanya pribadi yang memiliki kecerdasan unggul dan lebih peka terhadap gejala empiris, dan sehingga mereka mampu mensintesakan suatu bingkai teoritis (melalui arah induktif), yang kemudian lantas disebut sebagai argumentasi teologis. Bukankah mekanisme ini justru memang menghasilkan teori-teori substansi moral (relatif secara budaya setempat) dalam konsepsi ketuhanannya. Dalam hal ini, bukankah ini merupakan konteks agama yang lahir pada kultur tertentu saja, dan secara sosial budaya tidak bisa digebyahuyah karena konsep keuniversalan yang didogmakan oleh agama tersebut (lihat: Relativisme dan Upaya Jalan Tengah Menuju Universalisme). Bagi seorang yang ateis, hal ini hanya selesai sampai pada moral universal saja. Katakanlah perintah Tuhan "Jangan membunuh!", bukankah ini memang bersifat universal karena memang manusia takut mati? Bukan Tuhan yang berbicara secara langsung dalam momen tatap muka tertentu kepada individu terpilih.


Refleksi Penulis
Terkait dengan dua hal aspek teori ini, seringkali terjadi selisih paham antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas suatu objek. Tanpa disadari bahwa kita seringkali membuat teori dalam keseharian kita, meskipun tidak ilmiah, namun teori-teori inilah yang kemudian kita kenal sebagai opini-opini. Meskipun opini bukanlah teori, namun ada mekanisme kerja yang serupa demi menjelaskan suatu objek yang dikaji. Ketidakcermatan dalam menggunakan fokus teoritis dan tingkat analisa ini akan menghasilkan sesuatu yang menyesatkan, memukulrata persoalan, dan sehingga akan memproduksi ketidakadilan, serta sikap-sikap yang memaksakan kehendak terhadap subjek yang liyan. Dengan memahami fokus teoritis dan tingkat analisa, mampu memberikan kita rasa waspada terhadap realitas yang hendak kita kaji dan kemudian kita argumentasikan.

Misalkan dalam contoh keseharian, akhir-akhir ini kita jumpai ada seorang pemimpin yang mengatakan bahwa hasil pemilu (ranah sosial-politik: masyarakat demokrasi) ditolak oleh para pemuka agama (ranah sosio-religi: keyakinan dan ideologi). Si pemuka agama itu, menyatakan bahwa pemenang pemilu adalah anggota partai setan (logika penulis), dan pernyataan lainnya adalah metode "quick count" adalah sihir. Bagi seseorang yang tidak kritis maka ia akan percaya begitu saja terhadap pernyataan tersebut dan mendukung pernyataan pemuka agamanya. Orang yang tidak kritis (karena takut masuk neraka ketika sudah mati) akan percaya suatu keniscayaan yang diungkapkan oleh pemuka agamanya, padahal bisa jadi si pemuka agamanya hanya mendompleng pengetahuan teologi tertentu untuk melancarkan kepentingan-kepentingannya sendiri (uang, kekuasaan, dan sebagainya). Dalam ranah sosiologi, argumentasi yang lahir dari ideologi keagamaan juga menjelaskan suatu realitas seperti halnya teori moral, namun bedanya agama dan religi memiliki argumentasi yang sudah bersifat final dan tidak bisa ditawar. Padahal masalah sosial tidak bisa dipaksakan oleh ideologi tertentu, justru perlu diupayakan melalui perbaikan-perbaikan yang bersifat keilmuan (sepakat dengan ide Jürgen Habermas). Jika para pemuka agama ini mampu menjadi rendah hati dan berani sesuatu argumentasi yang lahir dari dogma dan ideologi itu dibuka dan menjadi suatu teori, maka justru dapat memberikan suatu inspirasi sosial dan memperkaya teori-teori moral melalui bentuk-bentuk komunikasi.

Dalam bidang ilmu pengetahuan beserta komunitasnya, dengan memahami fokus teoritis dan tingkat analisa, anda dapat secara cermat menerima atau menyanggah eksplanasi dosen, senior anda, pun teman diskusi sanggar penelitian ketika mereka memberikan eksplanasi terkait topik penelitian. Dalam tahapan yang lebih lanjut, anda akan peka terhadap artikel-artikel ataupun makalah-makalah ilmiah, mana yang ditulis secara hati-hati atau yang asalkan mendapatkan hal yang signifikan. Pengalaman peneliti sendiri dalam mengikuti kelas, sanggar atau loka karya ilmiah beberapa kali menemukan argumentasi seorang peneliti senior, yang mengatakan “bahwa penelitian haruslah signifikan, apabila tidak signifikan untuk apa diteliti.” Menurut hemat penulis, bahwa pernyataan peneliti senior semacam ini tidak tepat, karena sama saja memiliki mental kejar setoran makalah. Apabila kita setia terhadap ilmu pengetahuan, sesuatu yang tidak signifikan itu juga berharga, karena kita akan bisa belajar dari kesalahan-kesalahan, baik melalui arah penteoriannya, fokusnya ataupun tingkat analisanya. Lagi pula, pernyataan tersebut ngawur, bagaimana mungkin sesuatu yang tidak signifikan merupakan hasil dari proses kecermatan dalam berargumentasi secara deduktif (baca: argumentasi yang sahih atau valid), disamping itu meneliti adalah suatu proses, signifikasi adalah hasil uji. Ketika terjadi sesuatu yang tidak signifikan, peneliti sebaiknya memeriksa kembali bagaimana argumentasinya itu dibangun.

Lebih lanjut terkait hal ini, banyak pula ditemukan hasil-hasil laporan penelitian yang sebetulnya dihantam begitu saja dengan alat-alat statistik yang canggih seolah untuk mengejar signifikansi karena memberikan rasa aman bagi mahasiswa dari "intimidasi" dosen penguji. Padahal karena alasan emosional peneliti, alat-alat tersebut menjadi diterapkan secara tidak tepat guna, atau malah berlebihan (overkill). Hal ini misalkan saja di bidang ilmu keuangan, ilmu yang digeluti oleh penulis, katakanlah model-model prediktif dari Hipotesis Pasar yang Efisien (EMH), digebyahuyah untuk menjelaskan sesuatu yang sifatnya deskriptif dari teori keuangan keperilakuan melalui fungsi regressi melalui kombinasi susunan variabel-variabelnya. Jelas hal ini keliru secara fokus teoritis dan tingkat analisanya, EMH merupakan teori formal yang digunakan untuk menjelaskan fenomena empiris dengan memaksakan asumsi-asumsinya. Sedangkan teori keperilakuan merupakan teori substantif yang bisa dieksplorasi melalui metode eksperimentasi untuk menemukan proposisi, atau bisa juga merupakan teori formal yang meminjam dari ranah ilmu psikologi untuk menjelaskan fenomena keuangan dengan mempertimbangkan kondisi kejiwaan agen-agen ekonomi secara partikular. Bahkan jika hendak dikejar sampai tingkatan filosofis, EMH bersifat apriori, sedangkan teori keperilakuan bersifat aposteriori.
  
Sebagai contoh lain, penggunaan alat statistik yang sederhana, katakanlah uji beda rata-rata dianggap alat yang kurang canggih dan tidak memberikan kontribusi empiris, padahal masalahnya bukan alat statistiknya, akan tetapi bagaimana suatu deduksi dari argumen-argumen yang disusun secara valid tersebut dapat dibuktikan dengan alat statistik yang tepat. Alih-alih memberikan kritik pada area kerja fokus teoritis dan tingkat analisannya, peneliti itu hanya memberikan sesuatu yang berdasarkan tren alat statistik yang digunakan pada berbagai jurnal-jurnal ilmiah terkini. Tentu saja hal ini tidak bijak, karena sebaiknya peneliti semacam itu memberikan koreksi dengan memaparkan kelemahan dari alat-alat statistik sederhana itu, atau memberikan pandangan-pandangan kemungkinan asosiasi antara variable-variabel ujinya agar bisa melampaui penelitian terdahulunya. Alat statistik regresi tidak akan mampu menjawab suatu data empiris yang observasinya terlalu kecil atau bahkan datanya tidak normal karena merujuk pada tingkatan mikro. Akhirul kata penelitian bukanlah suatu ajang pamer kemampuan penggunaan alat statistik yang canggih, namun lebih kepada seni berargumentasi logis dengan menerapkan metode-metode ilmiah secara ketat untuk menjelaskan realitas. Sekali lagi teori adalah instrumen manusia dalam mengupayakan menjelaskan realitas.


Rekomendasi Bacaan

Neuman, W. L. (2014). Social Research Methods: Qualitative and quantitative approaches (7th ed.). Harlow: Pearson Education Ltd.
Sinnott-Armstrong, W., & Fogelin, R. (2015). Understanding Arguments: An introduction to informal logic. Stamford: Cengage Learning.
Sudarminta, J. (2002). Epistemologi Dasar: Pengantar filsafat pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Watloly, A. (2013). Sosio-Epistemologi: Membangun pengetahuan sosial. Yogyakarta: Kanisius.





Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)