Seri Belajar Pasar Modal (2): Sebuah Langkah Awal

Sore itu di warung Pak Kamto, Supri membakar kreteknya sambil menikmati kopi hitam manis sasetan. Ia melamun dan termenung sembari menikmati jingganya langit sub-urban.

"Hati-hati kesurupan brur, hampir maghrib nih." tegur Silo yang saat itu tengah mampir juga.


Warung kopi tidak lagi hanya sekedar tempat yang menjual minuman, namun warung kopi sudah menjadi ruang-ruang diskusi publik. Sumber gambar: https://travel.tempo.co
"Ah.. kau Sil, dasar! Hampir aku jadi kesurupan beneran karena kaget.. Sini, sini.. ngopi dulu.." Ujar Supri yang sambil menenangkan degup jantungnya yang sempat berdetak setengah kali detik jam.

"Kenapa lagi kau Pri, beberapa minggu ini gue perhatikan elu banyak melamun, tidak di tempat kerja, tidak di warung.. cerita lah, barang kali gue bisa bantu apa?" Silo duduk sembari ikut mengeluarkan bungkusan rokok kreteknya yang sudah kucal karena seharian tersimpan di kantong celananya.

"Anu Sil, biasa lah.. masalah habis anak masuk SMP, tahu kan.. soal uang.. gue malas membicarakannya, gak enak apalagi sama teman."

"Ah elu Pri, sejak dulu masalahmu selalu itu-itu saja.. itu masalah semua orang lah.."

"To, Kopi juga ya, biasa gelas kecil, kagak usah diaduk yak!"

"Trus gimana Pri, lu terlilit hutang lagi kah?" Tanya Silo lebih investigatif.

"Nggak sih.. cuma semenjak elu ajak gue hadir di kelas ngobrol-ngobrol pasar modal itu gue semakin kepikiran. Soalnya gara-gara anak masuk sekolah, ya mendadak tabungan habis, untuk beli seragam lah, untuk uang pangkal lah, untuk ini itu.. Ya elu tahu kan penghasilan OB di kampus berapa sih?! Narik ojol juga bikin gue gempor.. ngejar performa ini itu malah makin takut mati di jalan gue..kasihan bini gue ntar kan.."

"Yah emang hidup di negara sinting nih perlu puter otak lebih keras Pri! Kaga bisa selesai masalah lu kalau elu  ngelamun doang, apa lagi kalau kebanyakan ngeluh!" "Gini deh, lu mendingan ikutan lagi tuh kelas ngobrol-ngobrolnya.. Minggu lalu gue dapet diskusi yang menarik banget.. mengenal diri sendiri, judulnya."

"Ah elu, gue curhatin malah promosi diri sendiri.. malah jaka sembung begini.." Protes Supri.

"Dengerin dulu brur.. suka gak suka.. elu boros, elu tekor tuh gara-gara nurutin gaya hidup lo.. elu masih suka judi bola kan?! elu masih suka juga nongkrong ngopi-ngopi kan pas narik ojol?! Nah yang kayak-kayak gitu tuh.. elu mestinya bisa kendaliin.. berangkatnya ya dari yang begituan tuh, emang sih jajannya kagak seberapa, tapi pernah elu hitung kagak dalam sebulan habis berapa?"

"Eh sialan, bener juga lo.. terus gue harus apa.. kagak jajan sama sekali gitu.. ya gilak lah makin stress gue!"

"Ya kagak ekstrim gitu juga Pri! Elu dikit-dikit larinya dibawa radikal sih.. lama-lama elu stress sendiri tahu mikirinya kaya gitu."

"Ini Lo, kopinya yak!" Kamto datang menyuguhkan kopinya Silo, seraya duduk ikutan nimbrung.
"Ini, gue denger sayup-sayup dari dalam tadi, ngobrolin apa sih Lo, Pri, kayaknya seru bener. Tadi elu anteng aja bengang-bengong kayak ayam, giliran kedatengan Silo, elu mendadak waras.. lagi pada kenapa sih nih?"

"Kaga, To ini loh gue lagi ngobrolin soal pasar modal, yang gue masih kagak tahu makanan apaan tuh, eh malah diajak ngenalin diri sendiri.. gimana gue kaga jadi geram. Lo kan dah pernah gue ceritain kan To, gimana gue yang kaga tamat kuliah gini, udah kampusnya ecek-ecek, giliran sekarang baru nyesel gue.. paling melarat di antara saudara-saudara gue.. kagak mau lah gue dicap parasit, gara-gara gue kalau butuh duit ngutang mereka."

"Yah gue kan pingin anak gue kuliah, biar kagak kaya gue gini ngerasain sengsara, kerjaannya kalau ada apa-apa dikit soal duit selalu ujungnya gue gali lobang-tutup lobang. Mulai sekarang gue mesti mikir beneran nih."

"Tenang-tenang Pri.. makanya dengerin gue cerita yah...baik-baik.."
  

Kenali Diri Sendiri dan Selalu Jujur Terhadap Rasa Takut dan Tamak.

Ada kata-kata kuno yang tertulis di selasar kuil Apollo di Delphi, yaitu γνῶθι σεαυτόν (baca: gnōthi seauton) yang berarti ‘kenalilah dirimu sendiri’. Kata-kata yang berisi ajakan untuk selalu berkontemplasi tentang diri sendiri ini, menurut hemat penulis penting ketika seseorang ingin menjalani hidup yang melibatkan uang. Karena dalam berinvestasi, prasyarat utama anda untuk melakukan itu semua adalah penerawangan batin dan jujur terhadap perasaan anda. Terutama soal kerelaan anda untuk menunda konsumsi saat ini, demi suatu konsumsi di masa depan. Ilmu investasi pada hakikatnya adalah seni dan ilmu untuk mengatasi masalah kelangkaan-kelangkaan akibat anda menatap masa depan anda dengan menggunakan matematika dan statistik sebagai alat untuk 'mengamankan' kepastian. Sebelum anda memulai berinvestasi, semoga anda masih ingat mengenai bagaimana pengalokasian pendapatan bulanan anda. Sungguh nikmat ketika anda menjadi seorang karyawan yang menerima gaji yang secara pasti akan anda dapat nikmati nilainya setiap bulan. Hal ini berbeda dengan seorang pengusaha, yang pendapatannya bahkan kadang-kadang bernilai negatif alias harus ngutang sana-sini untuk memenuhi kebutuhan bulanan. Pertanyaannya sekarang adalah, sadarkah anda dengan kondisi kehidupan anda sekarang? Pekerjaan anda? Beban ekonomi keluarga anda? Pernahkah anda berhitung berapa jumlah konsumsi anda untuk menopang gaya hidup anda?

Dalam ilmu ekonomika mikro, komponen alokasi pendapatan ini pada tingkat perorangan merupakan konsumsi, tabungan, dan investasi, yang ketika dijumlahkan sama dengan pendapatan anda. Konsumsi per definisi adalah suatu belanja kebutuhan anda yang harus dipenuhi selama satu bulan (baca: periode keuangan tertentu), sedangkan tabungan dan investasi adalah belanja kebutuhan anda di masa depan. Namun di sini perlu dibedakan antara tabungan dengan investasi, yaitu dari persoalan karakteristiknya. Tabungan merupakan realisasi aktivitas keuangan dari motif berjaga-jaga (menyisihkan sejumlah dana tertentu yang diperuntukan ketika anda sakit, pemenuhan kebutuhan non anggaran, dan lain sebagainya), dan di sisi lain, investasi merupakan realisasi dari motif spekulasi keinginan anda (dalam hal ini anda berspekulasi mengenai tujuan hidup maupun keinginan-keinginan konsumsi anda yang belum jelas, misalnya: membeli mobil baru, uang masuk kuliah anak, biaya menikah, naik haji, ziarah ke luar negeri, dan lain sebagainya).

Dengan demikian, pola-pola transaksi keuangan akan selalu melekat dengan cara hidup individu, artinya ketika pada hari anda menerima penghasilan, maka saat itu juga sesungguhnya anda sedang menghadapi berbagai kebutuhan yang dapat dijabarkan pada suatu pengandaian garis waktu, yaitu dari saat ini hingga bulan depan, tahun depan, lima tahun yang akan datang, atau masa pensiun anda, hingga pada akhir dari eksistensi anda sendiri, yaitu waktu menghadap sang Khalik. Penulis dalam hal ini sama sekali tidak ingin menakut-nakuti anda dengan realitas kematian yang setiap insan manusia akan mengalaminya, namun justru ingin menegaskan bahwa hal ini adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Keberhakhiran adalah sesuatu yang sifatnya malah harus kita rangkul dan terima sebagai kenyataan yang tidak terhindarkan dalam pengandaian ruang dan waktu yang tidak pernah kita ketahui. Malahan, ketika kita takut akan keberakhiran dari eksistensi kita, hal ini harus kita akui bahwa kita sedang ‘tidak rasional’. Karena faktanya, setiap insan manusia pasti mengalaminya, inilah kepastian yang tidak pernah bisa dihindarkan dan sangat pribadi sifatnya. Artinya, ketika kita menyadari akan batas sebuah eksistensi kita, kita akan tahu untuk memanfaatkan waktu kita untuk segala sesuatu yang bernilai tambah (bekerja), kita akan berorientasi dan secara penuh mencurahkan hati dan pikiran kita pada setiap jengkal kehidupan kita ini. Kita menjadi berani dalam menjalani hidup, yang tidak lain adalah suatu ketidakpastian, dan inilah yang menjadi fokus dari pengelolaan keuangan pribadi, karena uang selalu melekat dengan segala segi aktivitas di dalam kehidupan kita dengan segala antisipasi atas ketidakpastian.

Barang kali pembaca, lantas mempertautkan dengan kepasrahan anda terhadap takdir Sang Khalik. Dalam hal ini, sebagai orang beriman anda tidak keliru, akan tetapi pernyataan tersebut tidak memutlakkan segala sesuatunya, kita juga memiliki kehendak bebas sebagai individu untuk menjawab segala hasrat kita sebagai manusia. Karena kehendak bebas inilah kita tidak bisa begitu saja mengimunisasi diri segala sesuatunya dengan takdir. Mengelola kehidupan, termasuk di dalamnya upaya mengelola keuangan adalah takdir juga, sebagai kewajiban anda untuk bertahan hidup dalam dimensi ekonomi, yaitu dengan mengoptimalkan segala sesuatu yang berkaitan kelangkaan dengan menggunakan akal budi. Jika, pembaca sepakat bahwa ‘takdir’ diletakkan sebagai alasan terakhir diri dalam menjelaskan realitas eksistensi, maka dalam hidup kita selalu mengsyaratkan tujuan dan harapan-harapan rasional beserta yang tidak rasional. Hal ini, merupakan konsekuensi dari setiap pribadi untuk menjawab apa-apa yang menjadi hasratnya. Kelangkaan merupakan bentuk kesadaran seseorang akibat dari hasratnya yang berintensi terhadap objek di luar diri, misalnya: ingin memiliki istri/suami, ingin memiliki anak, ingin membeli mobil baru, menjadi seorang filantropis dan apapun itu yang sudah diinginkan namun belum dimiliki/ masih menjadi mimpi saat ini. Itulah proyeksi kemenjadian seseorang yang diperolehnya karena hasratnya. Hasrat manusia adalah penggerak tanpa ada yang menggerakkan lebih dahulu, dia selalu memancarkan dorongan-dorongan seseorang untuk menggapai tujuannya. Hasrat tidak dapat dimatikan, ia selalu hidup dan logika tidak akan sanggup menghentikan hasrat, namun logika sangat berperan untuk mendisiplinkan hasrat agar selalu terkendali dan terhindar dari segala nafsu-nafsu yang tidak teratur. Kembali ke soal takdir, sebaiknya seperti itulah takdir itu dimaknai, bahwa sudah menjadi takdir kita untuk menjawab segala dorongan-dorongan hasrat kita, yang unik dan tidak pernah sama dengan orang lain.

Ada sebuah buku klasik yang pertama kali terbit di tahun 1937, yaitu ‘Think and Grow Rich’ karya Napoleon Hill. Buku ini merupakan buku self-help yang berfokus pada urusan materi duniawi murni. Ide Hill ini berfokus pada mengatasi rasa takut akan uang, yang selalu datang menhampiri dalam benak seseorang. Hill dari awalnya menegaskan dengan dua belas langkah konkrit yaitu ‘apa-yang-dilakukan’ dan ‘bagaimana-melakukannya’ untuk mendapatkan kekayaan, sebagai tanggapan atas ketidakmampuan seseorang dalam mengelola rasa takutnya. Namun di balik itu semua, penulis menemukan sesuatu yang menarik terkait dengan hasrat yang sempat disinggung di dalam bab-bab bukunya, yaitu: 
  1. Tetapkanlah jumlah uang yang anda inginkan itu dalam hati dengan pasti.
  2. Tentukanlah dengan pasti apa yang akan anda lakukan dengan uang yang anda peroleh nanti.
  3. Tentukan tanggalnya yang pasti kapan anda harus memperoleh uang itu.
  4. Buatlah suatu rencana untuk melaksanakan niat anda itu, dan mulai dengan segera mungkin apakah anda siap atau belum, masukanlah rencana itu dalam pelaksanaan.
  5. Tuliskanlah dengan singkat dan jelas, jumlah uang yang anda akan peroleh, dalam berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengusahakan uang itu, untuk usaha apa uang itu, tulis asalanya dengan jelas.
  6. Baca pernyataan yang sudah anda tulis itu dengan keras, dua kali baca setiap harinya, sekali begitu bangun pagi dan yang kedua kalinya sebelum tidur. Pada waktu membaca pernyataan itu—lihat dan rasakan danpercayakan pada diri sendiri bahwa anda sudah siap memiliki uang itu.
Buku karya Hill ini, dari tahun diterbitkannya hingga saat ini menjadi buku self-help yang paling laris di antara buku self-help sejenis lainnya. Saya cukup sepakat dengan ide dari Napoleon Hill ini, bahwa seseorang memang sebaiknya memiliki suatu tujuan yang jelas, selain itu juga bahwa tujuan hidupnya harus didasarkan dari alasan-alasan rasional dan optimisme pada dirinya. Bahwa proyeksi kondisi anda kaya raya pada umur tertentu pun sah-sah saja menjadi mimpi setiap orang. Akan tetapi, dalam hal prinsip-prinsip menghasrati sesuatu itu dengan memutlakan keinginan itu, saya perlu mengkritisi dan memberikan rasa waspada. Alasannya adalah bahwa ketika uang menjadi tujuan, kenyataannya tidak akan memberikan kebahagiaan. Memang uang bukan segalanya dan segalanya pun butuh uang, namun yang menjadi sorotan di sini adalah sering kali orang-orang terjebak dengan nafsu-nafsunya yang tidak teratur. Seseorang bertindak secara ngawur dalam membelanjakan kekayaannya, bahkan hanya untuk memenuhi nafsu-nafsunya yang paling bawah (baca: makan, minum, seks, dan lain sebagainya). Pengandaian yang oleh Napoleon Hill harus dimutlakkan agar memberikan kepastian, justru di sini lah letak kekeliruannya dan akan menjebak siapa saja dalam perilaku membuta akan uang. Uang kenyataannya adalah hanya sebuah alat representasi kuasa, yaitu menyimpan daya beli untuk merealisasikan impian materialisme seseorang. Penulis justru menekankan bukan masalah jumlah yang pasti akan kekayaan anda dan lantas akan digunakan untuk apanya, namun lebih anda ingin melakukan apa saja di dunia ini sebelum anda dijemput Sang Khalik. Apakah yang akan anda lakukan sembari menunggu waktu kematian anda yang datang secara misterius itu? Lebih baik anda menyusun daftar apapun keinginan anda (bucket list), terserah anda, yang penting anda merasa ‘CUKUP’. Barang kali, cukup untuk menikah di hotel mewah, cukup untuk membeli mobil-mobil langka dan mahal, cukup untuk pesiar ke luar negeri dua bulan sekali, atau barang kali cukup untuk memiliki yayasan yang memberikan pendidikan gratis bagi anak putus sekolah dan yatim piatu, atau secara ekstrim anda merasa cukup untuk tinggal di gubug reyot di tengah kesunyian lereng gunung dengan memetik buah hutan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Jadi, kata ‘CUKUP’ jangan dimaknai sebagai hidup yang serba berkekurangan dan kemudian dicukup-cukupkan. Maka dari itu, ukurlah segala sesuatu yang ‘CUKUP’ itu dalam nilai Rupiah, yaitu berbagai bentuk konkret keinginan anda, dan taksir berapakah nilai masa depannya di saat ini (net present value), termasuk juga segala sesuatu kemungkinan-kemungkinan apabila anda tidak mendapatkannya (baca: risikonya). 

Mengapa penulis justru terkesan mengendurkan kembali sesuatu yang telah dimutlakkan? Alasannya sederhana, karena secara dasariah kebenaran mutlak itu tidak ada dan tidak akan pernah ada. Alih-alih anda malah terjebak dengan ilusi anda sendiri, lebih baik anda selalu terbuka dan bersikap santun dengan ketidakpastian. Faktanya, anda akan kesulitan untuk mendapatkan ukuran harga pasti terkait ‘apa’ dengan uang. Karena perihal ‘kaya’ atau ‘miskin’ itu hanyalah masalah mentalitas yang kondisi itu muncul akibat anda membandingkan diri anda dengan orang-orang yang sudah berada pada posisi ekonomi-sosial-politik tertentu. Mau seberapa kaya kah anda dalam hidup ini? Kapankah anda merasa ‘kaya’, dan kapankah anda menyadari bahwa uang Rp 1 Triliun itu merupakan sesuatu hal yang memberikan kepastian bahwa anda memang kaya. Sulit dijawab bukan. Hasrat manusia itu tidak ada batasnya, jika perlu manusia dengan hasratnya ingin menggapai Sang Khalik. Uang Rp 1 Triliun yang anda miliki 10 tahun yang akan datang seolah akan mustahil dan tidak tergapai, ketika anda dalam posisi berkemakmuran nol Rupiah. Sederhanya, dengan cara apa, dan bagaimana anda akan mewujudkan pendapatan per bulan flat (tanpa memperhitungkan inflasi dan tingkat suku bunga, ceteris paribus) sebesar Rp 833 juta? Namun, hal ini berbeda ketika orang tua anda memiliki kilang minyak atau kebun kelapa sawit berhektar-hektar, anda sebagai tuan muda akan memaknai suatu jumlah uang secara berbeda. Sikap anda terhadap setiap Rupiah yang anda genggam hari ini, menjadi menentukan makna dari setiap jumlah penambahannya. Coba anda perhatikan grafik 1 di bawah ini. 

Grafik 1. Marginal Diminishing of Wealth, sumber: xxx di dalam Thaler (2016), diterjemahkan penulis.
Pada grafik tersebut, menggambarkan kondisi bahwa setiap unit peningkatan kemakmuran tidak linear atau tidak diikuti dengan setiap unit penambahan kepuasannya. Penjelasan sederhana dari grafik tersebut adalah fenomena ‘orang kaya baru—OKB’ yang sesungguhnya seseorang itu menjadi nampak aneh karena sedang mengalami euphoria dan bertindak berlebihan akibat penambahan kemakmuran. Para OKB, sering kali dipandang negative karena ekspresinya yang berlebihan terhadap penambahan kemakmurannya yang mendadak, namun seiring sejalan ia tambah kaya maka peningkatan kepuasannya tidak seperti pada awal mulanya. Penulis hanya ingin mengatakan bahwa perlu berhati-hati dengan suatu yang dimaknai secara pasti, karena sepanjang individu itu masih hidup justru yang dihadapi adalah segala hal yang selalu berubah dan tidak pasti. 

Di beberapa artikel penulis sebelumnya, penulis seringkali mengkritik cara hidup linier yang seolah sudah serba pasti, yang banyak dianut dan digunakan oleh banyak orang. Terlebih lagi, sistem berpikir semacam ini selalu saja digunakan sebagai kritik ketika seorang individu tidak sedang berada di dalam kondisi itu. Sebagai ilustrasi, suatu siklus kehidupan seseorang merupakan suatu rentang antara titik semenjak ia lahir hingga titik ia meninggal dunia. Di antara dua titik tersebut, itulah manusia bereksistensi, katakanlah ada suatu skenario hidup linier ideal seorang individu yang terbagi-bagi dalam suatu titik, yaitu: usia 0 – 3 tahun adalah usia batita, 4 – 5 tahun usia taman bermain/ pra-sekolah, 6 – 18 tahun ia bersekolah, 19 – 22 tahun ia menikmati bangku kuliah, 23 – 26 tahun ia masuk dunia kerja, 27 – 28 tahun ia berkuliah ambil pendidikan pasca sarjana, 29 – 30 tahun ia menikah dan masuk dunia keluarga batih muda, 31 – 35 tahun mengembangkan karir dan mulai membesarkan kedua anaknya, 36 – 46 sejalan dengan kestabilan ekonominya seseorang mempersiapkan anaknya tumbuh menjadi pribadi dewasa, 46 – 56 mempersiapkan hari tua dan sembari mempersiapkan anak-anaknya menikah, 56 – 68 usia pensiun dan sambil menunggu kematian datang menjemput. Ketika anda sudah menginjak umur 35 tahun dan belum menikah dan memiliki pekerjaan, kira-kira anda akan dengan mudah apa yang rata-rata akan layangkan kepada anda, bukan? Pun, ketika anda sudah punya pekerjaan dan menikah, tapi di umur anda yang sudah 40-an tapi belum dikaruniai momongan, anda juga bisa dengan mudah menebak. Padahal, apa yang terjadi pada kondisi anda sekarang, itu khas dan pribadi persoalan anda, mau anda kerja kek, sedang menganggur tapi punya anak dua belas kek, mau tidak menikah, mau poligami, mau menjadi kaya, mau menjadi miskin, itu urusan pribadi anda, kebebasan anda sendiri, dan tanggung jawab pribadi sifatnya. 

Sekarang, kembali ke konteks Napoleon Hill tadi, pertanyaanya adalah di rentang manakah seseorang paling mungkin dapat dipastikan menjadi kaya raya? Jawabannya adalah tergantung dari posisi kelompok ekonomi mana ia berangkat, kemudian dengan posisi apa dia membandingkan dirinya. Jika, kondisinya adalah sama-sama berangkat dari nol, maka paling mungkin adalah lima tahun setelah dia memutuskan untuk mencari kemakmuran, dengan melakukan pekerjaan yang menghasilkan aliran kas masuk (baca: pendapatan) yang cukup deras. Tentu saja apabila asumsinya hal ini adalah setiap orang secara rata-rata memiliki tingkat kemakmuran yang sama, maka paling tidak dalam budaya di masyarakat Indonesia, pada usia 0 – 19 tahun ia mendapatkan sokongan dari orang tuanya, selanjutnya ia akan memiliki tanggung jawab kepada dirinya sendiri dan ‘idealnya’ mulai mampu menyokong orang lain (baca: membiayai kuliahnya sendiri, menanggung biaya rumah tangga orang tuanya yang sudah pensiun, menopang adik-adiknya yang masih kuliah, atau menyekolahkan anak-anaknya, dan lain sebagainya). Jika pertanyaannya kemudian ‘apa-yang-dilakukan’ dan ‘bagaimana-melakukannya’ hal ini sulit apabila anda tetap berada di suatu pola-pola pemikiran dan cara hidup seperti orang kebanyakan (baca: rata-rata). Anda adalah pribadi yang unik dengan segala kekurangan dan kelebihan anda, yang terberi dan tidak bisa ditawar lagi (misalnya: anda buruk rupa >< tampan, anda berkelimpahan >< berkekurangan, anda kurang cerdas >< sangat cerdas, dan lain-lain). Namun, sekali lagi, hal-hal ini semua adalah hasil dari anda membandingkan dengan orang lain rata-rata, kenyataannya anda adalah unik par excellence—anda tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun itu. Jadi, anda perlu memikirkan apa yang menjadi hasrat anda? Apa yang dapat anda lakukan untuk mencapai itu? Bagaimana cara anda menggapainya? Alternatif-alternatif jalan mana yang dapat anda tempuh apabila anda menemukan jalan buntu? Berapakah biaya yang anda perlukan, dan berapakah biaya kesempatan yang anda harus korbankan demi apa-apa yang menjadi hasrat anda? Di titik anda sekarang ini, berapakah nilai kemakmuran yang mungkin anda raih dalam 3 tahun, 5 tahun, 10 tahun, apakah nilainya jauh di bawah atau sudah melampaui dari target anda? Apabila dalam 3 tahun anda mendapatkan kemakmuran melebihi dari target anda, bagaimana perasaan anda, seperti apa rasa senangnya? Pun, jika anda mengalami kerugian, bahkan jauh dari target anda, sejauh apa anda akan murung dan pundung? Apakah, proyeksi anda dan segala kemungkinan ini kemudian semua masuk akal untuk dijalani?

Kenyataannya, apa yang dialami seseorang dalam mengejar titik harapannya selalu mengalami rasa suka maupun duka dari hari ke hari. Akan tetapi, dalam mengejar kekayaan anda perlu memikirkan keutamaan hidup anda sebagai jawaban apa-yang-dilakukan, selain itu anda juga perlu mengedepankan sikap ugahari (baca: hidup tidak serba berlebihan). Hal ini penting anda uji cobakan kepada diri anda, bagaimana anda menghadapi suatu kepastian dan sekaligus ketidakpastian dalam hidup. Lebih lagi, apabila anda berurusan dengan angka-angka nilai Rupiah. Terkait dengan segala emosi-emosi anda terhadap kemakmuran yang menyangkut keputusan anda dalam mendapatkan uang, coba perhatikan kedua kasus berikut ini, kemudian tentukanlah pilihan anda dengan jujur:

Kasus 1: Asumsikan diri anda menjadi lebih kaya sejumlah Rp 30 juta dibandingkan saat ini. Anda memiliki pilihan:
  • A. Mendapatkan keuntungan tambahan pasti sebesar Rp 10 juta, atau
  • B. Berkemungkinan 50% untuk mendapatkan keuntungan tambahan sebesar Rp 10 juta dan 50% lagi untuk kemungkinan anda merugi sebesar 0%.
Kasus 2: Asumsikan diri anda menjadi lebih kaya sejumlah Rp 50 juta dibandingkan saat ini. Anda memiliki pilihan:
  • A. Mendapatkan kerugian pasti sebesar Rp 10 juta, atau
  • B. Berkemungkinan 50% untuk mengalami kerugian pasti sebesar Rp 20 juta dan 50% lagi kemungkinan anda merugi sebesar 0%.
Setelah anda menjawab, bandingkan jawaban hasil penelitian ilmu keuangan keperilakuan berikut. Kasus di atas adalah contoh yang diberikan Richard H. Thaler, yang terinspirasi oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky dalam Teori Prospek—yaitu suatu teori yang berhasil memberikan pandangan baru dalam manajemen keuangan setelah kejayaan rezim paradigma teori-teori rasionalitas. Hasil dari subyek-subyek yang menjadi partisipan eksperimen ini, secara rata-rata menjawab berturut-turut, pada kasus 1, para partisipan menjawab A adalah 72%, sedangkan menjawab B adalah 28%. Untuk kasus 2, para partisipan menjawab A adalah 36%, sedangkan menjawab B adalah 64%. Pantas diakui bahwa dari ilustrasi di atas bahwa sensitivitas baik penambahan ‘keuntungan’ dan ‘kerugian’ memiliki implikasi yang berbeda. Faktanya, banyak orang akan berkecenderungan menghindari risiko (risk-averse) ketika menghadapi keuntungan, dan justru mencari risiko (risk-seekers) ketika menghadapi kerugian. Perhatikan gambar 2 berikut ini. 

Grafik 2. Seseorang lebih memaknai rasa sakit dibandingkan ketika ia mengalami rasa senang, sumber: Thaler (2016), diterjemahkan penulis.

Setelah kita tilik Grafik 2 di atas, pembaca akan cepat-cepat mengetahui ada suatu hubungan antara tingkat perubahan kemakmuran (sumbu horizontal—rentang kerugian dengan keuntungan) dan tingkat perubahan kepuasan (sumbu vertikal—kepuasan lebih banyak “J” dengan kepuasan lebih sedikit L). Hubungan ini merepresentasikan bahwa kita mengalami hidup ini di dalam perubahan-perubahan, dan kita mengalami penurunan sensitivitas baik ‘peningkatan keuntungan’ maupun ‘peningkatan kerugian’, dan ketika mengalami kerugian, maka tingkat rasa penderitaannya akan tidak sama, bahkan lebih banyak, ketimbang kita mengalami keuntungan. Pada grafik tersebut ditunjukan bahwa pada saat kita mengalami rugi Rp 10 juta, tingkat kepuasan kita merosot lebih jauh. Jadi, jelas di sini bahwa rasa “J” tidak akan pernah sama dengan “J”. Pun, melandainya grafik ini juga menggambarkan, seseorang yang sudah terlalu banyak dan terbiasa menerima keuntungan dalam hidupnya, maka dia tidak akan terlalu bertambah kepuasannya, ia akan menjadi “manja” dan “tamak”. Begitu pun seseorang, yang mengalami terlalu banyak mengalami nasib buruk di dalam hidupnya, ia terlalu banyak mengalami kehilangan, maka ia cenderung menjadi “putus asa” dan “paranoia”. Jadi, dengan adanya fakta ini tentu saja suatu proyeksi linier yang dianjurkan oleh Napoleon Hill perlu diwaspadai, karena ketika kita menetapkan tujuan pasti dari hidup kita, kenyataannya dari kejadian ke kejadian kita selalu dihadapkan pada suatu realitas yang berubah-ubah dan serba tidak pasti. Ini lah anjuran dari penulis untuk tidak melebih-lebihkan rasa kepuasan begitu pun kekecewaan, dan untuk selalu bersikap ugahari. Ketika anda mengalami peningkatan keuntungan, cukupkan diri anda dengan rasa syukur dan kewaspadaan, dan ketika mengalami peningkatan kerugian, cukupkan diri anda dengan harapan dan keteguhan. Kunci mendapatkan kemakmuran menurut hemat penulis bukan masalah pada suatu kepastian yang kemudian melalui mekanisme oto-sugesti menjadikan hasrat itu semakin membuta akan uang, akan tetapi sikap anda terhadap uang beserta kemampuan mengolah kerohanian anda akibat kejadian ke kejadian yang melibatkan uang justru yang sanggup mengantar anda kepada kondisi berkecukupan, cukup rejeki dan cukup bahagia, tidak berlebihan.

Ketakutan dan Ketamakan Banyak Orang Itu Terefleksi di Pasar

Pada artikel pertama, di seri belajar pasar modal ini, penulis menyatakan bahwa “Tidak ada seorang investor pun yang sanggup mendapatkan keuntungan berlebih di pasar yang sudah efisien dan rasional.” Apa itu rasional dan apa itu efisien? Untuk menjawab ini, mari kita pahami dulu apa yang disebut sebagai pasar dalam kondisi efisien. Konsep pasar yang efisien adalah kondisi paling ideal dan dicita-citakan banyak orang, pasar efisien par excellence adalah suatu keniscayaan[1]. Menurut Fama di dalam makalah ilmiahnya yang berjudul “Efficient Capital Market: A Review of Theory and Empirical Work”, yang dipublikasikan pada tahun 1970, mengatakan bahwa pasar akan efisien jika dan hanya jika seluruh informasi yang relevan terefleksikan pada harga secara segera (instantaneously). Hal ini berarti, bahwa dalam kondisi ideal, seluruh pelaku pasar yang bertransaksi di pasar keputusan harganya telah mencerminkan semua informasi yang tersedia, baik informasi historis (baca: masa lalu) maupun informasi ekspektasian (baca: masa depan). Pernyataan ini, berangkat dari tiga bangunan asumsi rasionalitas (manusia ekonomi diandaikan sebagai makhluk rasional par excellence)[2], yaitu: (1) pelaku pasar adalah makhluk rasional, dan dalam interaksinya dengan pelaku lainnya akan cenderung tetap rasional, (2) ketika terjadi ketidakrasionalan pada segelintir pelaku pasar, maka hal itu akan hilang dalam konteks interaksi bersama, yaitu pasar, (3) dan ketidakrasionalan itu akan menciptakan mekanisme arbitrase[3] yang akan mengembalikan pada posisi harga yang rasional. Jadi, pada pasar yang efisien, seluruh pelaku pasar akan bertindak rasional dalam menanggapi informasi yang datang, dan memproses serta menetapkan harga dalam mekanisme rasional dalam waktu yang amat singkat. 

Dalam wacana teoritis, waktu yang singkat ini harga akan berubah mengikuti informasi itu seketika itu juga informasi datang dan diketahui pasar (baca: semua orang yang berkepentingan ekonomi). Artinya, di dunia nyata apabila hal ini ingin dipenuhi, maka harus ada suatu kemampuan kognitif yang luar biasa canggih, yang dapat mengolah informasi raksasa dan mengoptimalkannya dalam waktu singkat untuk menentukan harga beli dan/atau jual suatu aset. Namun justru karena kondisi yang sangat ideal ini, konsep efisien menemukan kelemahannya. Kenyataaannya, tidak ada di dunia ini manusia yang mampu memenuhi karakteristik semacam itu, bahkan mekanisme pasar sendiripun tidak ada yang memenuhi asumsi-asumsi yang digunakan dalam konsep itu. Hal ini menjadikannya pasar yang efisien agak terkesan utopis. Meskipun demikian, banyak riset empiris menyatakan dukungannya bahwa pasar itu efisien (paling tidak sudah dalam bentuk semi kuat[4]) di periode jangka panjang dan prediksi-prediksi yang menggunakan data paling tidak berfrekuensi mingguan atau bulanan. Namun sejalan dengan perkembangan zaman, kemajuan teknologi digital, memampukan manusia bertransaksi lebih rasional. Manusia mampu menciptakan teknologi-teknologi yang membantu untuk menggapai tujuannya. Penyebaran informasi pun kian merata dan cepat dengan adanya peran social media dan alat-alat komunikasi digital. Meskipun demikian, kita seyogyanya tetap mawas diri dan waspada bahwa segala sesuatu itu semua tidak ada yang mampu memberikan informasi secara pasti, sepanjang pengambilan keputusan ekonomi itu masih manusia juga, maka berbagai kesalahan-kesalahan tetap harus kita waspadai, baik kesalahan orang lain dan terutama kesalahan diri sendiri. 

Dengan demikian, pembaca dihadapkan pada suatu pertanyaan, lantas apakah pasar itu efisien atau tidak efisien? Untuk menjawab pertanyaan ini penulis akan menyinggung sedikit mengenai perilaku pelaku-pelaku pasar, yang tidak terhindar dari emosi-emosinya. Peran psikologi kognitif yang berdasarkan pada berbagai penelitian eksperimen dan survey memberikan postulasi yang meliputi: (1) Sesungguhnya investor adalah makhluk yang tidak rasional, (2) jika terjadi ketidakrasionalan pada salah satu atau sekelompok investor, maka akan memicu ketidakrasionalan pengambilan keputusan investor lainnya, dan (3) Jika terjadi ketidakrasionalan di pasar, maka akan memicu proses arbitrase, namun posisi arbitrase di pasar modal sulit dilakukan investor tanpa meniadakan modal dan risiko (karena masih terdapatnya biaya transaksi, informasi dan pajak). Artinya, apabila kita percaya dengan temuan penelitian ini, maka sesungguhnya efisien dan tidak efisien itu kondisi polaritas (baca: berseberangan pada dua kutubnya) yang tidak mungkin dipenuhi seluruhnya oleh pasar. Pasar itu bersifat dinamis dan mewaktu, artinya pasar efisien atau tidak efisien itu sangat tergantung dari situasinya, selalu berubah setiap saat. Hal ini, tentu saja seolah semakin membingungkan, namun hal ini dapat dengan mudah anda pahami ketika anda menyadari bahwa sesungguhnya pasar itu begitu kompleks dan tidak dapat begitu saja diisolasi dengan terma ‘ceteris paribus’ atau faktor-faktor lain dianggap sama/tetap. Ceteris paribus adalah suatu asumsi yang digunakan para ekonom agar fenomena ekonomi dapat diukur, dihitung dan dijelaskan. Ceteris paribus berperan seperti kamera yang menangkap momen kejadian dan membuat gambar statis (snap shot) dari seluruh fenomena yang terjadi. Contohnya adalah ketika anda membandingkan pada kondisi negara sedang stabil (atau normal) dan ketika negara dalam kondisi krisis, dalam kondisi normal pelaku pasar akan selalu optimis untuk mengharapkan suatu harga yang tetap naik, sedangkan dalam kondisi krisis pelaku pasar menjadi pesimis dan takut akan kehilangan nilai-nilai asetnya, sehingga terburu-buru melepas aset-asetnya untuk menghindari kerugian lebih dalam (strategi cut loss).

Ada beberapa argumentasi yang perlu anda ketahui terlebih dahulu ketika anda ingin memahami pasar beserta aktivitasnya. Hal ini akan sangat berguna ketika anda sebagai pelaku pasar dan menghadapi pergerakan harga di pasar dari waktu ke waktu. Karena anda mengetahui, maka anda akan dapat lebih tenang menyikapi realitas pasar yang menghampiri anda. Argumentasi-argumentasi ini dikembangkan dari para pendukung ilmu keuangan keperilakuan, paling tidak menurut Shefrin (2000) ada tiga tema argumen utama yang selalu dibahas pada keuangan keperilakuan, yaitu: (1) kekeliruan pelaku pasar terjadi karena mereka menggunakan ‘aturan-ibu-jari’ (rule-of-thumb); (2) kekeliruan pelaku pasar akibat persepsi mereka terbatas pada bingkai-bingkai atau bentuk-bentuk pikiran mereka sendiri yang sudah ada sebelumnya; dan (3) kekeliruan seorang pelaku pasar akan menetapkan harga yang keliru pula di pasar (pasar tidak efisien). Penjelasan poin pertama adalah rule-of-thumb banyak digunakan oleh praktisi keuangan, khususnya para manajer investasi dalam memberikan rekomendasi. Aturan-aturan statistik yang sudah baku ini kemudian menjadikan praktisi untuk memproses data yang disebut sebagai heuristik. Misalnya anda meminta saran dari manajer investasi anda untuk membeli produk reksadana (mutual fund) yang berkinerja baik di masa lalunya, lantas anda dengan mudah akan menyimpulkan bahwa di masa depan hal ini juga akan terjadi. Kedua, praktisi keuangan berkecenderungan mengambil keputusan berdasarkan bingkai persepsi atas risiko dan imbal hasilnya sendiri. Bukti akan hal ini adalah, rekomendasi yang dihasilkan oleh manajer investasi sering kali berbeda-beda antar institusi, sehingga anda akan dibuat bingung rekomendasi mana yang harus dipercaya atau digunakan. Terakhir, kenyataannya banyak pelaku-pelaku pasar melakukan kekeliruan-kekeliruan penetapan harga aset di pasar, oleh sebab itu harga di pasar justru akan cenderung bergerak menjauh dari nilai fundamentalnya (baca: nilai sesungguhnya).

Lantas apa yang dapat anda sikapi terkait dengan kenyataan semacam ini? Penulis pun meski sudah berkecimpung sebagai pelaku pasar dan juga pernah mendapatkan pendidikan keuangan secara formal, namun yang perlu penulis sampaikan kepada pembaca adalah selalu waspada terhadap pasar. Anda adalah manajer investasi terbaik untuk anda sendiri, karena anda yang mengetahui dan memahami siapa diri anda sendiri, pengetahuan keuangan yang anda miliki, rasa takut dan beserta berbagai impian-impian kemakmuran anda. Anda sendiri pula yang mengetahui tujuan-tujuan hidup anda berikut keberanian anda untuk menghadapi risiko-risikonya. Penulis pun hingga saat ini masih terus belajar dan tidak pernah bisa memastikan bahwa dengan cara-cara tertentu seseorang akan menjadi kaya raya, namun penulis lebih termotivasi untuk berbagi apa yang pernah dipelajari dan dialaminya ketika bertransaksi di pasar. Penulis di sini menegaskah bahwa hanya bisa mendampingi pembaca untuk belajar bersama-sama agar pembaca dapat memahami ilmu keuangan, khususnya berinvestasi di pasar modal, karena kenyataannya penulis sendiri pun masih tetap belajar untuk membedah lebih jauh berbagai fenomena-fenomena di ilmu ekonomika keuangan. Jadi, dengan adanya pemaparan ini, pembaca justru jangan semakin takut untuk terjun ke bidang keuangan, karena ilmu keuangan sama sekali bukan ilmu ghaib atau metafisis yang sama sekali tidak bisa dijelaskan secara akal budi. Kunci keberhasilan di pasar keuangan tidak lain adalah jujur terhadap diri sendiri dan selalu disiplin untuk belajar, serta selalu setia terhadap data untuk mengambil keputusan.

Sebuah Permenungan Filsafat tentang Pialang Saham

F. Budi Hardiman dalam artikelnya yang berjudul “Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham” di dalam sebuah buku berjudul Filsafat untuk Para Profesional (2016), mengemukakan tentang ‘manusia adalah makhluk pembeda’. Apa maksudnya ini? Franki, begitu ia sering disapa, menjelaskan dengan lugas bahwa menurut Simmel (sosiolog dan filsuf zaman modern) secara kodrati manusia adalah makhluk pembeda (Unterschiedswesen), yaitu hal ini bukanlah karena manusia suka membanding-bandingkan dirinya dengan apa yang bukan dirinya, namun karena manusia sesungguhnya adalah makhluk yang tidak pernah sama, baik dengan lingkungannya maupun dengan dirinya sendiri. Bukan berarti lantas ingin mengatakan bahwa seseorang berkecenderungan menjadi 'nyentrik', akan tetapi seseorang itu selalu hanya ingin berbeda sedikit dengan kelompoknya. Artinya, seseorang itu akan tetap memiliki dan mempertahankan kesamaan dengan sekitarnya, namun juga ada sesuatu yang mencirikan bahwa dirinya berbeda dan menonjol dibandingkan dengan orang di sekitarnya. Perlu diingat kondisi kodratiah ini merupakan ciri masyarakat urban (baca: kota-kota besar), yang melahirkan identitas diri seseorang dengan keunikannya sekaligus umum. 

Selanjutnya dalam pemaparan Franki, berurusan dengan pekerjaan yang berkaitan dengan uang, kita sebaiknya memahami dahulu apa itu ‘uang’—penulis telah menerbitkan artikel yang membahas tentang uang, baik secara pendekatan ekonomika moneter maupun secara sosiologis, diharapkan agar pembaca memahami dahulu mengenai uang ini sebelum melanjutkan. John Locke telah menjelaskan bahwa uang bekerja dalam mekanisme membuat segala hasil kerja yang berbeda-beda dihitung sama. Hak milik seseorang merupakan klaim atas hasil usahanya atau pekerjaannya, namun uang telah mengubah klaim ini menjadi sesuatu yang ditukar dalam ukuran kuantifikasi ekonomi belaka, tanpa adanya kualitas makna personal di dalamnya lagi. Pada ekonomi barter, yaitu dunia transaksi tanpa adanya uang, maka pertukaran barang terjadi pada tingkatan realitas, makna personal hasil kerja masih ada. Akan tetapi, dengan adanya kehadiran uang, maka pertukaran barang dengan uang berada pada simbol tingkat pertama, sedangkan pertukaran uang dengan uang berada pada simbol tingkat kedua, yaitu transaksi uang dengan uang hanya mengambil keuntungan dari selisih nilai. Dalam pertukaran simbol dengan simbol inilah pialang saham bermain. Berkaitan dengan hal ini, menurut Simmel uang hadir sebagai pihak ketiga yang menghubungkan pihak-pihak yang saling bertukar, tanpa harus mengenal secara personal antar pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain, uang telah menghubungkan aku dan dia secara kuantitatif nilai uang, sekaligus memutus hubungan makna aku dan dia, sehingga tidak ada lagi makna personal diantaranya lagi. Dengan demikian, dengan kehadiran uang manusia dihadapannya semua sama, secara kodrat manusia sebagai makhluk pembeda tidak ada lagi.

Hal ini penting dipahami dan direnungkan baik-baik sebelum anda berurusan dengan uang di pasar modal. Pekerjaan pedagang saham, investor, dan pialang saham akan benar-benar berurusan langsung dengan sifat kodrat uang itu sendiri. Seorang individu yang berkecimpung di bidang keuangan, akan menghadapi sebuah tujuan utama yaitu “memaksimumkan keuntungan” hal ini berbeda apabila ia hanya memiliki motif ekonomi, ia akan menghadapi tujuan untuk “memaksimumkan kepuasan.” Pada ilmu keuangan keperilakuan (lihat: grafik 2 di atas), keuntungan ditautkan langsung dengan kepuasan, hal ini secara tersurat jelas bahwa tujuan seorang pelaku keuangan adalah uang itu sendiri dan dimaknainya sebagai sesuatu yang membawa kepuasan, bahkan kebahagiaan bagi dirinya. Secara argumentasi teoritis hal ini sah-sah saja, akan tetapi dimensi kepuasan seseorang tidak hanya melulu soal uang. Simmel berbicara akan hal ini secara filosofis di dalam Hardiman (2016) bahwa uang memiliki tiga ciri psikologis (ingat kepuasan adalah aspek psikologis manusia), antara lain: (1) uang yang semula hanyalah alat tukar, yaitu sebuah sarana, mampu berubah menjadi tujuan pada dirinya dan memiliki otonominya di hadapan pemiliknya—kepemilikan uang akan memberikan rasa damai dan aman bagi pemiliknya, seperti rasa saleh di dalam Tuhannya, uang adalah Mammon zaman modern; (2) ciri anonimisasi dan depersonalisasi, yaitu uang membuat segala yang didihargai menurut nilainya menjadi sama—uang menjadikan semua hal dapat dibeli atau dijual, karena mungkin uang merupakan intersekesi umum atas rentetan tujuan-tujuan yang berbeda; (3) uang mengasuh pemiliknya untuk menjadi karakter yang mirip dengan uang, yaitu memiliki sikap berjarak, anonim, dan tidak peduli perbedaan individual, atau dengan kata lain memiliki sikap blasé—sikap ini mengubah pertanyaan “apakah mereka berharga?” menjadi “berapakah harga mereka?”. 

Dari ketiga ciri uang tersebut, pelaku di pasar modal menghadapi uang, seperti halnya para metafisikus menghadapi simbol-simbol realitas sehingga mereka minati bukanlah barang, melainkan nilainya sejauh dikuantifikasi dengan nilai uang. Mereka menjadi pedagang-pedagang yang paling metafisis dan simbolis di antara para pedagang. Profesi seperti ini sudah secara niscaya menghasilkan sikap blasé, uang menjadi sebuah sistem logis yang mengalihkan kenyataan konkret menjadi nilai abstrak. Jiwa mereka mengadaptasi suasana hati (mood/Stimmung) yang timbul dari naik atau turunnya nilai uang dari waktu ke waktu (lihat kembali dan imajinasikan grafik 2 dengan adanya dimensi ke-tiga yaitu waktu). Selain itu, ciri kalkulatif tentang uang ternyata berhadapan langsung degnan ciri tak terkalkulasi kehidupan itu sendiri, maka ketika anda memutuskan untuk berdagang di pasar keuangan, khususnya pasar modal, anda akan berhadapan paling langsung dengan risiko-risiko dan ketidakpastian, yang hampir menyentuh batas kesewenangan kehidupan. Dengan demikian, dari permenungan filsafat ini Franki mengajak kita untuk tetap dan selalu berjarak dengan uang, karena kenyataannya pelaku pasar modal menanggung beban profesi yang tak tertanggungkan apabila abai terhadap hal-hal yang bersifat kualitatif. Pembaca diingatkan untuk memahami posisinya yang selalu bersentuhan dengan kesewenangan kehidupan yang di dalamnya kemutlakan nilai uang dapat berubah menjadi serba nisbi, dan para pembaca dianjurkan untuk tidak menganggap uang atau bahkan memujanya sebagai “allah zaman kita”. Hal yang terpenting adalah pembaca harus selalu siap mendevaluasi uang dalam kesadarannya sehingga ketika kesewenangan itu mengakibatkan kehilangan dan sifat “judi” (meskipun pasar modal tidak sama dengan judi) menimpali mereka dengan ketidakterdugaan yang menyakitkan, pembaca harus bisa mengatakan bahwa uang itu bisa bernilai tidak lebih daripada sekedar kertas belaka.


Bagaimana Memulai Berinvestasi

Setelah pembaca dihadapkan dengan berbagai macam sudut pandang tentang uang dan sisik meliknya di pasar modal. Penulis justru mendorong agar pembaca justru semakin berani untuk terjun di dalam profesi ini. Ketika anda mengetahui sesuatu itu secara lengkap dan komprehensif, maka anda akan semakin mampu mengolahnya di dalam kesadaran anda dan akan mampu menciptakan penawar-penawar dari ‘racun-racun duniawi’ yang ditawarkan oleh uang. Secara kodrat uang, pasar modal, dan pasar keuangan hanyalah instrumen (baca: alat atau sarana) ekonomi belaka, yang aktivitasnya berada dan melekat bersamaan dengan seluruh interaksi sosial. Untuk itu penulis sekali lagi bertanya kepada pembaca, sebagai bahan refleksinya:
  1. Sudah siapkah anda untuk berinvestasi dan terjun sebagai profesi pelaku perdagangan saham/ pelaku investasi? 
  2. Sudah siapkah anda untuk menghadapi segala ketidakpastian yang sewenang-wenang akan menghampiri anda? 
  3. Sudah siapkah anda berjarak dan selalu mengupayakan akan tidak terbuai dengan euphoria uang itu sendiri? 
  4. Sudah siapkah anda akan selalu berefleksi dan tanpa mengenal lelah untuk mengenal diri sendiri dan sehingga bisa selalu mengedepankan sikap positif terhadap uang? 
  5. Bersediakah anda untuk tetap menganggap uang adalah suatu sarana saja dan bukan segala-galanya dalam hidup anda? 
Apabila anda dengan jujur dan iklas hati menjawab ‘YA’ maka berikut ini adalah langkah-langkah teknis yang anda dapat tempuh untuk pertama kali:
  1. Pelajari dahulu tentang pasar modal dan bertransaksi di pasar modal terlebih dahulu, anda bisa membuka tautan yang disediakan oleh IDX berikut ini: https://www.idx.co.id/investor/pengantar-pasar-modal/
  2. Kenalilah preferensi risiko anda dan tujuan investasi anda, apakah untuk biaya kuliah anak, membeli rumah, uang pensiun, dan lain sebagainya. Tetapkan tujuan ini dan apapun yang terjadi jangan pernah digunakan untuk keperluan lainnya.
  3. Belajar membaca informasi tentang laporan keuangan, grafik-grafik, beserta tabel-tabel kutipan pasar keuangan. Penulis juga akan membantu pembaca untuk membahas hal ini di artikel-artikel berikutnya.
  4. Ikuti sekolah pasar modal, lihat tautannya di sini: https://www.idx.co.id/en-us/investor/capital-market-school/
  5. Sebelum anda membuka rekening pada wakil pedagang efek atau broker anda, lengkapilah segala sesuatunya yang terkait dengan perhitungan uang dan saham anda, penulis akan mengupayakan hal ini agar pembaca dapat membuatnya sendiri dengan menggunakan program MS.EXCEL. Cara pembuatan ini akan dijelaskan di seri belajar pasar modal berikutnya.
  6. Ikuti virtual trading terlebih dahulu, amati pergerakan saham, kenali istilah-istilah perdagangannya, dan saham-saham beserta beragam indeksnya. Anda harus membiasakan diri anda untuk melihat pergerakan naik-turunnya harga, amati dan andaikan keputusan apa yang dapat anda buat.
  7. Sambil anda melakukan virtual trading, ada baiknya anda membuat sebuah kliping informasi terkait dengan perusahaan-perusahaan yang anda buat secara kronologis, minimal anda buat tiga bulan kebelakang. Kaitkan informasi yang anda baca ini dengan pergerakan harga saham yang bersangkutan. Hal ini akan melatih kepekaan anda nantinya dalam menanggapi informasi yang datang dan anda akan tahu dan bertindak cermat setelahnya.
  8. Setelah anda melakukan segala sesuatu itu di atas, jadikanlah kebiasaan untuk berinvestasi dengan cermat dan sehat serta selalu prudent. Setelah itu silahkan anda ikuti petunjuk di tautan berikut ini: http://yuknabungsaham.idx.co.id/mulai-investasi
  9. Selamat berinvestasi, dan ikuti terus seri belajar pasar modal berikutnya.

Baca seri belajar pasar modal selanjutnya: (3) Ceteris Paribus, Garis Waktu, dan Aplikasi Manajemen Keuangan 


Daftar Bacaan

Fama, Eugene F. 1970. "Efficient Capital Market: A Review of Theory and Empirical Work." Journal of Finance 25 (2): 383-417.
Fama, Eugene F. 1991. "Efficient Capital Markets: II." Journal of Finance 46 (5): 1575-1617.
Hardiman, F. Budi. 2016. “Simmel tentang Perancang Busana dan Pialang Saham.” Dalam Filsafat untuk Para Profesional, oleh F. Budi Hardiman, 79-96. Jakarta: Kompas.
Hill, Napoleon. 1960. Think and Grow Rich. New York: A Fawcett Crest Book.
Kahneman, Daniel, and Amos Tversky. 1979. "Prospect Theory: An analysis of decision under risk." Econometrica 47 (2): 263-291.
Shefrin, Hersh. 2000. Beyond Greed and Fear: Understanding behavioral finance and the psychology of Investing. Boston: Harvard Business School Press.
Thaler, Richard H. 2015. Misbehaving: The Making of Behavioral Economics. New York: W.W. Norton & Company, Inc.



Catatan-catatan Akhir:


[1] Meskipun ada segelintir pelaku-pelaku pasar yang menginginkan pasar tidak efisien, mengapa?, alasannya adalah ketika pasar tidak efisien maka para pelaku pasar ini dapat mengalahkan pasar, atau dengan kata lain mereka akan mendapatkan keuntungan lebih dan bahkan berlebihan.
[2] Makhluk rasional par excellence adalah makhluk yang dalam tindakannya selalu logis tanpa cacat, dan tidak pernah melibatkan aspek-aspek psikologisnya seperti emosi-emosi dalam pengambilan keputusan. Faktanya, bahwa manusia tidaklah demikian, manusia sebagai homo ekonomikus, manusia yang sangat rasional dalam mengambil keputusan ekonomi hanya terjadi dalam ruang pengandaian para ilmuwan ekonomi saja, manusia itu makhluk yang tergantung situasinya (bdk. Thaler, 2015).
[3] Mekanisme arbitrase adalah proses menyeimbangkan harga akibat adanya perbedaan harga yang terjadi pada jenis komoditas/barang yang sama. Arbitrase akan mengikuti hukum satu harga (The Law of One Price).
[4] Fama (1991) membagi bentuk efisiensi pasar paling tidak menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) bentuk lemah, yaitu data historis seluruhnya tercermin di harga, (2) bentuk setengah-kuat, yaitu data historis beserta informasi public terefleksi di harga, dan (3) bentuk kuat, yaitu informasi privat dari internal perusahaan. Bentuk-bentuk pasar yang efisien ini akan dibahas dibagian lain dalam seri belajar pasar modal ini.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial: Mengunduh Data Keuangan Dari Yahoo! Finance

Membuat Tabel (Siap) Publikasi di Stata

Triangulasi (Metode Campuran)